Achmad Muhlis, M.A.
Abstrak : Fokus kajian yang akan dibahas dalam penelitian adalah
deskripsi model pembelajaran, respon siswa serta faktor- faktor yang mempengaruhi pengembangan model pembelajaran
qawaid sharraf
dengan pendekatan qiyasiyah.
Berdasarkan hasil
penelitian, ditemukan bahwa pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf dengan
pendekatan qiyasiyah terdiri dari empat model pembelajaran yang
diaplikasikan secara intensif dan efektif untuk mendapatkan kualitas
pembelajaran yang baik. Pertama, model pemahaman materi diberikan dengan
cara guru memberikan dasar materi yang akan disajikan berdasar pada Kompetensi
dasar dan indikator pembelajaran. Kedua, menghafalkan wazan dilakukan
dengan cara guru memberikan contoh wazan fi’il madhi yang akan dipelajari
berdasar pada thariqah tashrif bina’ shahih. Ketiga, mengaplikasikan
varian wazan pada setiap huruf illat yang berbeda. Keempat, mengaplikasikan model-model tashrif pada lafadz
dalam al-Qur’an. Respon siswa terhadap pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf dengan
pendekatan qiyasiyah tergolong positif dan optimal. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
indikator berikut: (1) Memunculkan motivasi, (2) meningkatkan minat belajar
siswa,
(3) Mengembangkan bakat belajar
siswa,
dan (4) titik tolak pengembangan
Bahasa Arab. Secara umum, faktor utama yang dapat mempengaruhi
keberhasilan pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan
qiyasiyah ini harus dilakukan dengan perencanaan dan proses yang
profesional. Namun ada beberapa komponen yang menunjang upaya tersebut,
diantaranya adalah: (1) Manajemen madrasah yang berkualitas, (2) Input siswa,
(3) Kompetensi yang dimiliki guru.
Kata kunci: Qawaid sharraf, pendekatan qiyasiyah, al-madkhal al-insani
A.
Pendahuluan
Qawaid
Sharaf atau tashsrif merupakan salah satu ilmu yang
sangat penting khususnya bagi siswa, peminat maupun pemerhati bahasa Arab,
karena qawaid sharaf merupakan salah satu alat untuk dapat menguasai
serta mendalami bahasa Arab fushhah secara utuh dan komperehensif.
Berangkat dari hal tersebut diatas, pembelajaran sharaf harus menjadi prioritas
utama yang tidak dapat dihindarkan. Karena pada dasarnya pembelajaran sharaf
adalah mengenalkan dan membiasakan siswa, peminat dan pemertihati bahasa Arab
menggunakan kaidah-kaidah sharaf secara benar dan tepat, sehingga
terhindar dari kesalahan lisan, baca dan kesalahan dalam ekspresi tulisan.
Dalam proses pengembangan pembelajaran qawaid sharraf di MTs Negeri Sumber Bungur
Pamekasan, seorang
guru dituntut mampu menampilkan diri sebagai sosok yang dapat membangkitkan
motivasi[1] anak didik khususnya dalam mempelajari qawaid sharraf, menciptakan suasana pembelajaran yang efektif
sehingga proses pengajarannya dapat berlangsung dengan penuh keakraban,
kesenangan dan menggembirakan serta sistematika materi yang terstruktur sesuai dengan kemampuan dan
karakter siswa. Hal ini
menuntut guru qawaid
sharraf untuk
memiliki dan menguasai keterampilan tertentu yang berhubungan dengan kompetensi
dan kapabilitasnya dalam ilmu-ilmu
kebahasaan, cara mengajarkannya dan cara berinteraksi dengan anak didiknya serta berbagai pendekatan pembelajarannya.
Pada umumnya guru qawaid sharraf yang notabene berada dilingkungan pondok pesantren, dalam kegiatan pembelajarannya,
banyak ditemukan guru “mu’alim” qawaid sharraf yang belum memiliki kompetensi dan
kapabilitas yang seimbang antara kemampuan berbahasa (ilmu bahasa) dengan
kemampuan metodologis pembelajaran qawaid sharraf. Di satu sisi dijumpai guru qawaid sharraf yang memiliki kemampuan qawaid sharraf yang baik namun tidak bisa mengajarkan secara baik karena kendala
metodologis yang belum dikuasai, pembelajaran qawaid sharraf menjadi monoton dan terkesan stagnan. Akibatnya, pembelajaran qawaid sharraf kurang optimal serta tidak memenuhi kebutuhan
anak didik. Kenyataan seperti ini secara teoritis membawa konsekwensi logis
terjadinya kegagalan menjawab persoalan kriteria ideal guru qawaid sharraf selama ini. Kendatipun demikian, pada tataran empirisnya, kekurangan-kekurangan
tersebut ternyata menghasilkan out put peserta didik yang memiliki kualitas
kebahasaan yang cukup baik bahkan dapat mengalahkan kualitas lembaga yang
secara teoritis memiliki semua fasilitas yang dibutuhkan.
B.
Pengembangan Pembelajaran Bahasa Arab
Dalam pembelajaran bahasa
Arab dikenal lima macam pendekatan, yaitu: pendekatan manusiawi (humanistic
approach)[2],
pendekatan berbasis media (media based approach), pendekatan aural-oral
(aural-oral approach), pendekatan analisis dan non analisis (analytical
and non analitycal approach), dan pendekatan kamunikatif (communicative
approach).[3]
Pendekatan manusiawi yang
dalam bahasa arab disebut al-madkhal al-insani, sangat memfokuskan
perhatiannya pada peserta didik. Peserta didik dipandang sebagai manusia yang
harus diperlakukan secara manusiawi, bukan alat atau benda mati yang menerima
rangsangan-rangsangan dan menjawabnya.[4]
Dengan pola pandang seperti ini setidaknya dapat mempercepat interrelasi antara
pengajar dan murid dalam hubungannya dengan proses transfering knowledge,
karena kebutuhan psikologi murid dapat terpenuhi serta minat, bakat dan
motivasinya dapat dikembangkan.
Pendekatan berbasis media
yang dalam bahasa Arab disebut al-madkhal al-taqni adalah pendekatan
yang mengandalkan kepada teknik penggunaan media pengajaran. Pendekatan ini
bertujuan untuk melengkapi konteks yang menjelaskan makna kata-kata, struktur
dan istilah-istilah dan kebudayaan baru melalui gambar, peta, foto, contoh
model yang hidup, kartu dan segala sesuatu yang membantu menjelaskan makna kata
asing kepada murid.[5]
Pendekatan analisis dan non
analisis yang dikenal dengan istilah al-madkhal al-tahlili wa ghair
al-tahlili adalah pendekatan yang digagas oleh Stern yang intinya adalah
pendekatan formal karena ia memantulkan orientasi aliran sastra tentang analisa
bentuk-bentuk percakapan, pidato dan teori komunikasi lisan. Perbedaan antara
analisis dan non analisis dalam perspektif ini adalah: Pertama,
pendekatan analisis merupakan pendekatan yang menjadikan sosio linguistik
sebagai dasar pertimbangan analisis. Diskursus ini memfokuskan diri pada
pembahasan semantik, aktifitas bicara, analisis sistem dan pengertian pikiran
serta menuntut penganalisaan kebutuhan sosio-linguistik program baru dan
program profesional yang didasarkan pada silabus. Kedua, pendekatan non
analisis adalah pendekatan yang menjadikan yang menjadikan pembahasan
psiko-linguistik dan ilmu pendidikan sebagai asas pertimbangan analisis yang
bersifat global, integral dan alami. Pendekatan ini menuntut pengajaran bahasa
pada situasi-situasi kehidupan yang alami dan difokuskan pada topik-topik
pembicaraan yang berkaitan dengan kehidupan psikologis peserta didik.[6]
Pendekatan komunikatif yang
dalam bahasa Arab dikenal dengan al-madkhal al-ittishali merupakan
pendekatan yang memfokuskan pada kemampuan kamunikasi aktif dan praktis.
Pendekatan ini merupakan perpaduan strategi-strategi yang bertumpu pada suatu
tujuan tertentu yang pasti, yaitu melatih peserta didik menggunakan bahasa
secara spontanitas dan kreatif. Oleh karenanya pendekatan ini mendorong peserta
didik untuk berani menggunakan bahasa Arab.[7]
Pendekatan aural-oral
yang dalam bahasa Arab dikenal dengan al-madkhal al-sam’i al-syafahi.
Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa bahasa adalah apa yang didengar dan yang
diucapkan sedangkan tulisan hanyalah representasi dari ujaran.[8]
Berangkat dari asumsi ini, maka bahasa yang pertama adalah ujaran. Untuk itu
pengajaran bahasa harus dimulai dengan memperdengarkan bunyi-bunyi bahasa dalam
bentuk kata atau kalimat secara klasikal kemudian meminta murid untuk
menirukannya untuk kemudian dihafalkan sebelum pelajaran membaca dan menulis
diajarkan.
Berdasar pada beberapa
pendekatan di atas, Abdul ‘Alim Ibrahim memberikan landasan prinsip
pengembangan pembelajaran bahasa Arab, yaitu:[9]
Prioritas, Akurasi dan Gradasi
C.
Pembelajaran Qawaid
Gramatika (qawaid)
secara etimologis adalah dasar, pedoman, asas, peraturan.[10]
Dapat juga diartikan rumusan asas-asas yang menjadi hukum.[11]
Di samping itu, Louis al Ma’luf mengartikan undang-undang baku yang dihimpun
secara terikat.[12]
Sedangkan pengertian qawaid secara terminologis adalah sebuah premis
umum yang dikonsiderasikan dengan seluruh spesiesnya.[13]
Pemahaman yang hampir sama disampaikan oleh Amin Ali al Sayyid bahwa qawaid adalah
sebuah paradigma yang bersifat universal disimpulkan dari perkataan orang Arab.[14]
Dari beberapa penjelasan di
atas dapat disimpulkan bahwa qawaid merupakan aturan-aturan baku yang telah
menjadi konsensus dan harus diikuti oleh pemakai bahasa serta dikonsiderasikan
dengan penutur aslinya.
Sedangkan tujuan mempelajari
qawaid adalah agar siswa dapat memahami dan memberi pemahaman terhadap lawan
bicaranya tentang pembicaraan atau tulisan secara baik dan benar.[15]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gramatika bukanlah tujuan secara langsung
melainkan hanya sebagai media untuk mencapai tujuan yang dimaksud.
Seiring dengan perkembangan
situasi dan teknologi dalam pembelajaran, maka berkembang pula berbagai metode
pembelajaran yang merupakan pengembangan dari metode sebelumnya. Salah satu
pengembangan metode itu adalah thariqah al-qawa’id (grammar method).
Konsep pembelajaran ini, guru mengajar bahasa Arab dengan menghafal
kaidah-kaidah nahwiyah, sharfiyah, mufradat serta tarkib.
Guru dalam metode ini tidak banyak memperhatikan bahasa Arab tetapi lebih
mementingkan belajar kaidah dalam pembelajarannya. Kaidah-kaidah nahwiyah,
sharfiyah, dan keterampilan menerapkannya lebih penting dari pada
latihan-latihan kebahasaan.[16]
Para pakar bahasa menyatakan
bahwa mempelajari gramatika bukanlah merupakan tujuan tetapi merupakan media
untuk mengevaluasi kalam dan kitabah seseorang (wasilah al-taqwim). Pada
perkembangan terkini, pengajaran gramatika mulai berubah pola ajar dengan
mengaitkannya dengan kebutuhan riil bahasa keseharian peserta didik yaitu
berkisar pada pola-pola (uslub) yang digunakan dalam teks wacana, teks
istima’, atau membahas kesalahan-kesalahan yang ada pada hasil karangan peserta
didik, baik kesalahan individual maupun kesalahan umum (common mintakes).
Pengajaran gramatika yang berdasarkan kebutuhan ini (al-qawaid ‘ala al-asas
al-wadzifi) dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh peserta didik,
terutama agar terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam berbicara dan menulis.
Pola ini mendorong peserta didik untuk belajar qawaid secara sungguh-sungguh
dan memiliki akses langsung bagi peserta didik dalam menentukan kata, menyusun
kalimat serta meniadakan hal-hal yang dianggap tidak penting dalam komunikasi
kesehariannya.[17]
D.
Pembelajaran Qawaid Sharraf dengan Pendekatan Qiyasiyah
Pendekatan qiyasiyah
dibangun dengan menghafalkan kaidah kemudian melanjutkannya dengan mendatangkan
contoh yang menguatkan dan memperjelas maknanya.[18]
Sedangkan menurut Mahmud Ali al Saman, pendekatan qiyasiyah merupakan
pendekatan menjabarkan kaidah pada contoh untuk memperdalam atau dari kaidah
yang bersifat umum pada kaidah yang bersifat khsusu, dari umum ke khusus.[19]
Jadi pendekatan ini berupaya memperjelas qawaid yang akan disampaikan dengan menggunakan
sebagian contoh yang nantinya akan diperdalam melalui latihan.[20]
Thariqah qiyasi adalah thariqah yang diadopsi dari thariqoh
terdahulu yang meliputi tiga langkah pengaplikasiannya yaitu: Pertama, guru
mempermudah pembelajaran qawaid dengan menyebutkan qaidah-qaidah atau
ta’rif dari unsur yang umum pada yang khusus, kedua mendatangkan
sebagian contoh, dan ketiga memberikan latihan pada siswa untuk mengukur
tingkat pemahaman terhadap materi qawaid yang sudah diberikan.[21]
Adapun langkah aplikatif
bagi seorang guru jika ingin menerapkan metode qiyasi adalah sebagai
berikut:[22]
- Guru masuk kelas dan
memulai pelajaran dengan menyampaikan tema tertentu.
- Guru melanjutkan dengan
menjelaskan kaidah-kaidah sharraf.
- Pelajaran dilanjutkan
dengan siswa memahami serta menghafal kaidah-kaidah sharraf.
- Guru memberikan contoh
atau teks yang berkaitan dengan kaidah.
- Guru memberikan
kesimpulan pelajaran.
- Setelah dianggap cukup,
siswa diminta mengerjakan soal-soal latihan.
E.
Deskripsi Model Pembelajaran Qawaid
Sharraf Dengan Pendekatan Qiyasiyah di MTs
Negeri Sumber Bungur Pamekasan
Dalam kaitannya dengan
pengembangan pembelajaran qawaid sharraf
dengan pendekatan qiyasiyah,
MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan menekankan aplikasinya pada kelas Mata
Pelajaran Bahasa Arab. Hal ini dikarenakan kurikulum dan alokasi waktu yang
diberikan pada kelas tersebut sangat mendukung terhadap proses pengembangan pembelajaran
qawaid sharraf
dengan pendekatan qiyasiyah.
Modal utama pengembangan
model pembelajaran qawaid sharraf
dengan pendekatan qiyasiyah
adalah cukupnya alokasi waktu yang diberikan mengingat banyaknya
tahapan-tahapan yang harus dilakukan.
Selain alokasi waktu yang
memadai, kesiapan mental dan kompetensi awal siswa menjadi acuan terlaksananya
proses pengembangan pembelajaran qawaid
sharraf dengan pendekatan qiyasiyah ini. Kesiapan mental dibutuhkan untuk memberikan
motivasi pada siswa untuk lebih mendalami kaidah-kaidah kebahasaan dalam
sharraf mengingat eksistensinya yang tidak dapat dipisahkan dari materi bahasa
Arab itu sendiri, mereka harus selalu termotivasi untuk mempelajai Bahasa Arab
secara intensif. Sedangkan kompetensi awal yang harus dimiliki siswa diharapkan
mampu memberikan warna terhadap proses pengembangan pembelajaran qawaid sharraf
dengan pendekatan qiyasiyah ini. Artinya setiap siswa yang ada pada kelas
Bahasa Arab ini sudah memiliki modal awal sehingga pembelajaran ini merupakan
pengembangan dan peningkatan kompetensi menuju arah yang lebih efektif.
Secara umum, model
pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah di kelas ini
meliputi pemahaman materi, menghafalkan wazan, mengaplikasikan varian wazan
pada setiap huruf illat yang berbeda dan mengaplikasikan model-model tashrif
pada lafadz dalam al-Qur’an.
Jadi 4 model pembelajaran
tersebut diaplikasikan secara intensif dan efektif untuk mendapatkan kualitas
pembelajaran yang baik. Model pertama adalah pemahaman materi
yang diberikan dengan cara guru memberikan dasar materi yang akan disajikan
berdasar pada Kompetensi dasar dan indikator pembelajaran. Misalnya:
mengenalkan macam-macam bina’, sighat, wazan dan tashrif fi’il tsulatsi
dan ruba’i baik yang mujarrod maupun yang mazid.
Pengenalan materi ini disajikan secara sederhana agar supaya siswa mampu
memahami secara cepat, sehingga pendalamannya lebih ditekankan pada praktek.
Model kedua adalah menghafalkan wazan dilakukan dengan cara
guru memberikan contoh wazan fi’il madhi yang akan dipelajari berdasar pada thariqah
tashrif bina’ shahih.
Jadi pada model ini, siswa
diminta untuk menghafalkan semua wazan dengan menggunakan bina’ shahih
baik fi’il tsulatsi, fi’il tuba’i yang mazid dan mujarrod.
Pada proses ini ada beberapa strategi yang dilakukan guru, yaitu:
1. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang
bertujuan untuk mempermudah siswa dalam melakukan regulasi penghafalan materi.
Kelompok ini akan berubah dengan penyesuaian ketercapaian materi yang dihafal
agar supaya siswa yang cepat tidak dirugikan, demikian pula siswa yang lambat
tidak tertekan secara psikologis.
2. Setiap siswa memiliki target tertentu dalam
setiap semester yang ditentukan oleh guru. Misalnya untuk kelas 7, menghafalkan
tashrif isthilahi fi’il tsulatsi mujarrad dan mazid thariqah tahsrif
bina’ shahih, mahmuz, mudha’af, mitsal, dan ajwaf. Kelas 8 menghafalkan tashrif
isthilahi fi’il tsulatsi mujarrad dan mazid thariqah tahsrif bina’ naqish,
lafif dan tashrif isthilahi fi’il ruba’i mujarrad, mazid dan mulhaq,
tashrif lughawi thariqoh tashrif bina’ shahih, mudha’af, mahmuz, mitsal, ajwaf,
naqis, lafif. Kelas 9 menghafalkan thariqoh tashrif lughawi isim fa’il,
isim maf’ul, fi’il mudhari’ mabni lil fa’il, fi’il amar, isim zaman/makan, isim
alat serta fawaid tsulatsi mazid ruba’i, tsulatsi mazid khumasi,
tsulatsi mazid sudasi, ruba’i mazid khumasi, ruba’i mazid sudasi dan ruba’i
mulhaq.
3. Siswa diperbolehkan menghafalkan di atas target
yang telah ditetapkan karena target tersebut bersifat minimal sehingga siswa
dapat melampaui ketentuan yang sudah diberikan.
4. Siswa yang tidak mencapai target akan diberi
waktu tambahan untuk mengejar target dengan dibantu oleh teman yang hafalannya
sudah melampaui.
5. Setiap siswa yang sudah menghafalkan satu tema tashrif
dibubuhi tanda tangan guru sebagai tanda untuk proses selanjutnya.
6. Guru melakukan evaluasi dalam setiap pekan dengan
memberikan test secara acak pada siswa maupun materi hafalannya dengan berdasar
pada tanda tangan yang sudah diberikan sebelumnya.
7. Pada akhir semester diadakan i’lan tashrif
untuk mengukur kemampuan siswa dalam hafalannya sehingga siswa yang berkualitas
akan diluluskan dengan predikat mumtaz.
8. Apabila ada siswa kelas 9 (kelas akhir) yang
hafal materi secara utuh mulai dari awal sampai akhir dengan melewati test yang
cukup ketat, maka dia akan mendapatkan reward berupa tablet android 7 inch dari
madrasah sebagai bentuk stimulus untuk teman-temannya yang lain.
Dari penjelasan strategi di
atas, terlihat bahwa sistem yang digunakan untuk menghafalkan materi yang
merupakan prasyarat penguasaan qawaid sharfiyah tergolong efektif. Hal
ini didasarkan pada realitasnya yang sudah tidak konvensional melainkan
diaplikasikan dengan inovasi yang cukup baik dalam rangka memaksimalkan varian
potensi yang dimiliki siswa.
Model yang ketiga adalah mengaplikasikan varian wazan pada setiap
huruf illat yang berbeda. Pada tahapan ini, guru berupaya untuk mengenalkan
pada siswa ketika fi’il atau kata kerja yang dijadikan sampel terdiri
dari huruf illat, maka akan terjadi perubahan cara tashrifnya.
Hal ini dikarenakan huruf illat tersebut (baik yang terdapat pada fa’
fi’il, ‘ain fi’il dan lam fi’il) memiliki kaidah tashrif
sendiri di luar kaidah baku. Dengan pengenalan ini, secara otomatis siswa dapat
mengaplikasikan fi’il-fi’il selain bina’ shahih pada tashrif
isthilahi yang tsulatsi, ruba’i, mujarrad, mazid dan mulhaq.
Orientasi pengenalan ini bertujuan agar supaya siswa tidak secara general
melakukan tashrif mengikuti bina’ shahih tanpa melihat fi’ilnya
apakah masuk pada kategori shahih, mudha’af, mahmuz, mitsal, ajwaf, naqis, dan
lafif.
Model yang keempat adalah mengaplikasikan
model-model tashrif pada lafadz dalam al-Qur’an. Model ini diberikan kepada siswa dengan tujuan agar supaya siswa
mengetahui dimana letak perubahan-perubahan fi’il yang ada pada teks
asli yang dalam hal ini menggunakan al-Qur’an. Strategi ini dilakukan agar
siswa terbiasa mengenal kata dasar pada kata dalam al-Qur’an sehingga makna yang
terkandung di dalamnya juga mengalami perubahan. Model ini disajikan dengan
menggunakan pola pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa.
Berdasarkan keterangan di
atas, dapat disimpulkan bahwa model pengaplikasian tashrif dalam
al-Qur’an sangat penting dalam memaksimalkan ranah psikomotor siswa, disamping
itu pemahaman siswa terhadap fungsi dan signifikansi perubahan-perubahan pada
lafadz dalam satu fi’il tertentu menjadi lebih komprehenship karena
tidak hanya terfokus pada ranah teoritis saja, melainkan juga pada ranah
empiris.
Dalam kaitannya dengan
langkah implementatif yang disampaikan pada siswa, pengembangan pembelajaran qawaid
sharraf dengan pendekatan qiyasiyah ini dilakukan dengan beberapa tahapan
yang bersifat taktis, diantaranya adalah: Pembagian kelompok, penjelasan
mekanisme, evaluasi.
F.
Respon Siswa Terhadap Pengembangan Model Pembelajaran Qawaid Sharraf Dengan Pendekatan Qiyasiyah
Di MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan
Dalam kaitannya dengan
pengembangan pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah
yang merupakan salah satu penunjang jenis kemampuan berbahasa yang ingin
dicapai dalam konteks pembelajaran Bahasa Arab. Hal ini didasarkan pada
realitas pada proses pembelajaran Bahasa Arab dimana siswa yang seharusnya
tertarik untuk menggunakan Bahasa Arab justru menjadi tidak tertarik, tidak
terangsang sehingga suasana menjadi kaku bahkan macet. Kondisi ini sebenarnya
terjadi karena keterbatasan dalam pengolahan dan pengembangan kosa kata yang
akan dipakai dalam menerapkan kemampuan berbicara, misalnya ada perubahan kata
kerja ketika dhomir yang ingin digunakan berbeda.
Pengembangan pembelajaran qawaid
sharraf dengan pendekatan qiyasiyah ini berdampak positif terhadap
siswa dalam berbagai macam aspek terutama pada wilayah kerumitan perubahan kata
kerja yang merupakan salah satu modal dalam mengembangkan pembelajaran maharatul
lughawiyah. Diantara respon siswa yang bisa dijadikan sebagai indikator adalah sebagai
berikut:
1.
Pengembangan pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah senantiasa memberikan
motivasi lebih terhadap siswa.
Sebagaimana telah
disampaikan sebelumnya, bahwa siswa kelas Mata Pelajaran Bahasa Arab MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan dituntut
memiliki kemampuan yang lebih dalam hal kompetensi penguasaan Bahasa Arab. Kondisi ini menjadikan
mereka merasa sulit dalam mendalami
mata pelajaran bahasa Arab
dan berasumsi bahwa bahasa Arab adalah pelajaran yang menakutkan sehingga
meraka kurang termotivasi dalam menerima materi bahkan cepat merasa jenuh yang
pada akhirnya mereka menjadi siswa pasif. Kondisi ini ditambah dengan keharusan siswa menguasai berbagai macam jenis
qawaid yang salah satunya adalah qawaid sharfiyah
Keharusan menguasai kompetensi qawaid
sharfiyah ini memberatkan siswa yang sebelumnya tidak memiliki latar
belakang pendidikan Madrasah.
Motivasi lain muncul karena adanya reward yang
diberikan pada siswa yang mencapai target tertentu dalam pembelajara.n qawaid
sharraf yaitu mendapatkan hadiah
tertentu. Jadi siswa terdorong untuk menguasai qawaid sharraf bukan
karena merasa butuh pada materi itu, melainkan karena terdorong untuk
mendapatkan hadiah yang disiapkan Madrasah.
Keterangan tersebut mengindikasikan adanya
motivasi intrinsik yang dimiliki oleh siswa. Mereka belajar Bahasa Arab bukan
marena model pembelajaran yang variatif serta media yang digunakan bagus,
melainkan karena rasa ingin tahu yang ada dalam diri mereka sendiri. Dalam hal
ini, siswa yang memiliki motivasi intrinsik memiliki tujuan menguasai suatu
bidang tertentu, sehingga dia terdorong untuk melakukan apapun untuk mencapai
tujuannya agar supaya apa yang diinginkan dapat terwujud secara maksimal.
2.
Pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah senantiasa meningkatkan
minat belajar siswa dalam menguasai bentuk kata kerja dalam mufrodat.
Sebagian siswa kelas Mata Pelajaran Bahasa
Arab ada yang
belum pernah belajar bahasa Arab pada jenjang sebelumnya, tapi ada juga
beberapa siswa yang sudah pernah belajar bahasa Arab. Mereka itu adalah siswa
atau siswi lulusan Madrasah Ibtida’iyah (MI) atau yang pernah mengenyam
pendidikan Madrasah Diniyah, belajar bahasa Arab dengan model konvensional yang
hanya terpaku pada buku atau kitab yang dipakai dengan menekankan pada materi qawaid
semata tanpa adanya pengembangan pembelajaran bahasa Arab melalui model yang inovatif, sehingga minat yang seharusnya meningkat dalam
setiap jenjangnya, menjadi stagnan atau bahkan cenderung menurun.
Di kelas Mata Pelajaran Bahasa Arab MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan, siswa yang
sebelumnya belum memiliki potensi dan hanya bermodalkan motivasi
paksaan, akhirnya mulai memiliki minat yang cenderung meningkat dari tahun ke
tahun untuk belajar bahasa Arab.
3.
Pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah dapat mengembangkan bakat
belajar siswa dalam pembelajaran bahasa Arab di kelas, luar kelas dan di luar madrasah.
Salah satu kelebihan Kelas Mata Pelajaran Bahasa Arab MTs Negeri Sumber Bungur
Pamekasan adalah memaksimalkan
kompetensi bidang studi
agama termasuk didalamnya adalah bahasa Arab. Karena tuntutan kualitas itu, maka pihak madrasah memiliki kewajiban untuk senantiasa meningkatkan dan
mengembangkan bakat dasar yang dimiliki oleh siswa tersebut supaya kemampuan
dasar yang dimiliki sebelumnya dapat dikembangkan secara maksimal sesuai dengan
standar kompetensi lulusan MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan. Hal yang
dilakukan oleh lembaga adalah menyiapkan guru, sarana dan prasarana yang
menunjang terhadap berkembangkan minat dasar yang dimiliki oleh siswa khususnya
dalam materi bahasa Arab.
Secara eksplisit, kemampuan siswa di dalam kelas
menjadi cukup baik dan lebih mudah dalam memahami materi Bahasa Arab. Hal ini
dikarenakan adanya upaya pengembangan model pembelajaran yang tidak hanya
berkutat pada satu sisi, melainkan senantiaa mencoba yang baru dan
mempertahankan yang sudah efektif. Pada akhirnya bakat dan minat siswa muncul
dengan sendirinya tanpa harus ada paksaan dari guru maupun orang tua.
Minat dan bakat siswa kelas Mata Pelajaran Bahasa
Arab MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan juga terlihat di luar kelas dimana
mereka menunjukkan keberanian untuk berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa
Arab sederhana dan bangga melakukan proses mekanisme aplikasi media dan
berbagai macam kata kerja.
Di samping itu, siswa kelas Bahasa Arab MTs
Negeri Sumber Bungur Pamekasan juga mengaktualisasikan bakat dan minatnya
dengan memberikan pembelajaran pada siswa yang lain dengan cara berkelompok
maupun privat yang masih bersifat ringan.
Dalam hal ini, minat dan bakat siswa tidak hanya
teraktualisasi di lingkungan Madrasah, melainkan sebagian dari mereka sudah
mampu untuk membantu menjelaskan materi pada teman-temannya yang lain.
Kebiasaan ini akan lebih terstruktur ketika difasilitasi dengan diresmikannya
“Kampung Pendidikan” di MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan yang point utamanya
adalah memberdayakan kemampuan siswa dalam berbagai macam rumpun pelajaran
termasuk dalam pembelajaran Bahasa Arab yang nantinya akan memakai siswa dan
siswa Bahasa Arab untuk membentuk “Kampung Pendidikan” di sekitar Madrasah.
4.
Pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah
sebagai titik tolak pengembangan Bahasa Arab
Pembelajaran qawaid sharraf dengan
pendekatan qiyasiyah merupakan salah satu upaya untuk memberikan
pembelajaran Bahasa Arab yang bersifat intensif dan mendalam pada siswa karena
pada hakikatnya model serta mekanisme yang diterapkan mengarah pada hal
tersebut. Oleh karenanya, pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah
ini berorientasi pada pendalaman dan optimalisasi kompetensi kebahasaan
siswa yang meliputi istima’, kalam, qiro’ah dan kitabah.
Berdasarkan keterangan tersebut, dapat dikatakan
bahwa siswa kelas Bahasa Arab MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan mendapatkan
pengalaman yang cukup bagus yaitu penguasaan kaidah bahasa melalui pembelajaran
qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah dengan seluruh
rangkaian mekanismenya. Indikasi yang cukup jelas dapat dilihat dari
perkembangan kemampuan siswa baik kemampuan qawaid sharrafnya dan
kecakapan dalam berbicara (maharatul kalam).
G.
Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Pengembangan Model Pembelajaran Qawaid
Sharraf dengan Pendekatan Qiyasiyah di MTs Negeri
Sumber Bungur Pamekasan
Sebagaimana sudah dijelaskan
sebelumnya, bahwa upaya pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf dengan
pendekatan qiyasiyah ini harus dilakukan dengan perencanaan dan
proses yang profesional. Sehingga ada beberapa komponen yang mempengaruhi
berhasil atau tidaknya upaya ini, diantaranya adalah
1.
Manajemen madrasah
MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan adalah salah
satu madrasah yang senantiasa melakukan perbaikan dan pengembangan dalam
berbagai bidang tidak terkecuali dalam masalah kurikulum dan proses
pembelajaran. Dalam hal ini, Kepala Madrasan dan steakholder senantiasa
memberikan dukungan yang luar biasa pada setiap program yang berjalan. Salah
satunya dalam pengembangan model Faktor-
Faktor apa yang mempengaruhi pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf
dengan pendekatan qiyasiyah. Realitas ini dibuktikan dengan peran kepala madrasah yang melakukan
rancangan untuk mengembangan pembelajaran Bahasa Arab melalui pembentukan kelas
Bahasa Arab yang berorientasi pada pengembangan Bahasa Arab secara intensif.
Oleh karenanya, mulai dari struktur kurikulum yang digunakan dan guru yang akan
berperan aktif di dalamnya dirancang dengan matang. Begitu pula dalam kaitannya
dengan kebutuhan sarana dan prasarana yang dibutuhkan senantiasa dipenuhi dan
dianggarkan.
2.
Input siswa
Merupakan keniscayaan bahwa kualitas siswa yang
dididik dan dikembangkan berpengaruh terhadap hasil yang akan dicapai. Oleh
karenanya, MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan melakukan penerapan mekanisme
khusus dalam rekrutmen siswa yang akan masuk pada kelas Bahasa Arab. Mekanisme
ini terdiri dari dua tahap, yaitu tes kemampuan dasar untuk mengukur kemampuan
yang dimiliki sebelumnya dan yang kedua adalah menjaring minat dari siswa
dengan cara memberikan beberapa pilihan kelas, wakil kepala madrasah bagian
kurikulum akan menentukan kelas siswa berdasarkan pilihannya dan kemampuan yang
dimiliki sebelumnya.
3.
Kompetensi guru
Guru merupakan komponen utama yang akan
menentukan proses pembelajaran yang berkualitas. Dalam hal ini, guru Bahasa
Arab yang akan mengampu di kelas Bahasa Arab harus memiliki kompetensi yang
baik. Salah satu kompetensi yang menjadi ukuran adalah riwayat pendidikan yang
pernah dilalui. Misalnya guru yang bersangkutan adalah sarjana Bahasa Arab,
pernah mengenyam pendidikan pesantren atau lembaga kursus dan memiliki
pengalaman mengelola lembaga pengembangan Bahasa Arab.
H.
Analisis
Dalam penguasaan
keterampilan berbahasa tersebut, terdapat empat keterampilan yang dimiliki oleh
siswa, yaitu keterampilan mendengar (maharah al-istima’), keterampilan
berbicara (maharah al-kalam), keterampilan membaca (maharah
al-qira’ah) dan keterampilan menulis (maharah al-kitabah). Tingkat kemampuan itu mencakup performative[23],
functional, informational, dan epistemic. Pada tingkat performative,
orang mampu membaca (fahm
maqru’), menulis (kafa’ah al-kitabah), mendengarkan (fahm al-masmu’), dan
berbicara dengan simbol-simbol (al-kalam bi ramuz al-shauti) yang digunakan. Pada tingkat functional, orang mampu menggunakan
bahasa Arab untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari[24] seperti membaca
surat kabar (qiro’ah al-jaridah), manual atau petunjuk. Pada tingkat informational[25], orang mampu mengakses pengetahuan dengan
kemampuan berbahasa, sedangkan pada tingkat epistemic[26]
orang mampu mengungkapkan pengetahuan ke dalam bahasa sasaran.
1.
Pengembangan Model Pembelajaran Qawaid Sharraf dengan Pendekatan Qiyasiyah
Menurut Syaiful Mustofa, thariqah
qiyasi adalah thariqah yang diadopsi dari thariqah terdahulu
yang meliputi tiga langkah pengaplikasiannya, yaitu (1) guru mempermudah
pembelajaran qawaid dengan menyebutkan kaidah-kaidah atau ta’rif dari unsur
yang umum pada yang khusus, (2) memberikan sebagian contoh, (2) memberikan
latihan untuk mengukur tingkat pemahaman siswa terhadap qawaid yang sudah
dijelaskan.
Berdasarkan teori tersebut
dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya model pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan qiyasi merupakan model pembelajaran yang mengaplikasikan teori yang
bersifat umum menuju teori yang bersifat khusus yang dikenal dengan istilah “juz’iyah”
dengan menggunakan beberapa contoh dan latihan yang dijadikan sebagai tolok
ukur kemampuan siswa dalam menyerap materi qawaid.
Kelas Mata Pelajaran Bahasa
Arab merupakan kelas prioritas materi keagamaan dan Bahasa Arab di MTs Negeri
Sumber Bungur Pamekasan. Dalam pembelajarannya, kurikulum yang digunakan juga
mengacu pada penekanan-penekanan terutama pada materi Bahasa Arab. Kondisi ini
memberikan peluang besar pada diterapkannya berbagai macam model pembelajaran
yang inovatif. Oleh karenanya, pembelajaran Bahasa Arab khususnya pembelajaran qawaid
pada kelas ini dilakukan upaya pengembangan yaitu dengan Pembelajaran qawaid
sharraf dengan pendekatan qiyasiyah yang pada intinya berorientasi
pada penguasaan kaidah kebahasaan.
Sharraf merupakan materi
gramatika yang membicarakan perubahan bentuk kata kerja (misalnya: past,
present, perintah perubahan kata kerja ke kata benda turunan dan penyesuaiannya
dengan pelaku). Jadi ilmu sharraf ini hampir sama dengan morfologi atau ilmu
bentuk kata.
Menurut Fathul Mujib, ada
beberapa problem obyek material dan formal dalam kaitannya dengan kegagalan
pembelajaran gramatika, yaitu:[27]
a. Problematika faktor linguistik dan nonlinguistik,
baik dalam bentuk perbedaan kata, pola kalimat, jenis kata, jabatan kalimat,
arti dan bunyi.
b. Guru menitik beratkan pada kaidah gramatika untuk
menghafal dan memahami isi bacaan yang diajarkan dalam bentuk lagu atau musik
tertentu.
c. Pembelajaran tidak memasuki wilayah substansif
dengan tidak menghiraukan implikasi makna yang menyertainya serta tidak memperhatikan
konsekuensi makna yang terdapat dalam masing-masing pola.
d. Pola hubungan guru dan siswa cenderung kaku
seperti tuan dan majikan, guru hanya menyajikan contoh kemudian siswa diminta
untuk membuat contoh serupa tanpa mengetahui kekuatan dan kelemahan siswa dalam
pembelajaran.
e. Buku ajar terkadang tidak sesuai dengan kemampuan
siswa.
f.
Pembelajaran gramatika tidak disandingkan dengan disiplin ilmu lain.
MTs Negeri Sumber Bungur
mengupayakan kegagalan tersebut tidak terjadi dengan cara mengembangkan model
pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah dengan
segala mekanismenya. Misalnya:
1. Melakukan inovasi kurikulum dengan menentukan
target dan penambahan alokasi waktu.
2. Menyiapkan mental guru dan siswa dengan manajemen
uji kompetensi. Guru harus memiliki riwayat pendidikan yang linier, memiliki
pengalaman mengelola lembaga kebahasaan dan pernah belajar di pesantren.
Sedangkan siswa harus melalui dua tahapan diantaranya adalah uji kompetensi
kemampuan Bahasa Arab dasar dan penentuan kecenderungan untuk memilih kelas
dari siswa sendiri.
3. Menyajikan materi dengan berbagai macam model
diantaranya mengubah wazan sesuai dengan bina’, penyajian ini
berbeda dengan mayoritas kitab sharraf pada umumnya.
4. Memberikan evaluasi untuk mengkaji kemampuan dan
kelemahan siswa agar supaya mendapatkan solusi yang efektif.
5. Senantiasa melakukan upaya pemberian motivasi
baik dari sisi model pembelajaran yang digunakan maupun reward yang diberikan
pada siswa yang mencapai target yang sudah ditentukan.
Berdasar pada konsep yang
diterapkan di MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan, dapat disimpulkan bahwa
terdapat komparasi model yang dikembangkan yaitu model deduktif, induktif dan
drill (latihan). Bahkan melebihi teori yang ditawarkan Saiful Mustofa[28]
yang hanya menekankan pada proses deduktif, karena di MTs Negeri Sumber Bungur
terdapat beberapa hal yang disiapkan untuk meminimalisir kegagalan dalam
pembelajaran qawaid, misalnya rancangan kurikulum melalui muatan materi dan
alokasi waktu serta motivasi yang diberikan pada siswa yang secara konsisten
dilakukan oleh manajemen madrasah.
Berdasarkan penjelasan di atas,
model pembelajaran yang digunakan pada Kelas Mata Pelajaran Bahasa Arab di MTs
Negeri Sumber Bungur Pamekasan masuk pada kategori student center method
(al-Thariqah al-Ittishaliyah-al-Intiqaiyah). Metode ini memiliki
beberapa karakter, diantaranya adalah mengembangkan kompetensi siswa secara
utuh dalam konteks komunikasi yang sesungguhnya. Kedua, siswa memiliki
peran aktif sebagai komunikator sedangkan guru sebagai fasilitator yang
merancang konsepnya.[29]
2.
Respon Siswa Terhadap Pengembangan Pengembangan Model Pembelajaran Qawaid Sharraf dengan
Pendekatan Qiyasiyah
Dalam menjalankan fungsinya sebagai seorang motivator,
guru senantiasa beusaha untuk membangkitkan gairah belajar anak didik. Menurut Saiful Bahri Djamarah, ada enam hal yang
dapat dikerjakan oleh guru, yaitu:[30]
a.
Membangkitkan
dorongan pada anak didik untuk belajar;
b.
Menjelaskan secara
konkrit kepada anak didik apa yang apa yang dapat dilakukan pada akhir
pengajaran;
c.
Memberikan
ganjaran terhadap prestasi yang dicapai anak didik sehingga dapat merangsang
untuk mendapat prestasi yang lebih baik di kemudian hari;
d.
Membentuk
kebiasaan belajar yang baik;
e. Membantu kesulitan belajar anak didik secara
individual maupun kelompok;
f.
Menggunakan metode
yang bervariasi.
Seiring
dengan dinamika dan kemajuan abad informasi dan globalisasi dewasa ini,
nampaknya sudah saatnya seorang guru berupaya mengikis atau bahkan menghilangkan
kesan umum bahwa mempelajari bahasa Arab itu sulit. Bersamaan dengan itu, perlu
juga
ditambahkan
kesadaran bersama bahwa mengerti dan menguasai bahasa Arab itu tidak hanya
penting untuk menopang pemahaman seseorang terhadap ajaran Islam, melainkan penting juga
untuk didayagunakan dalam berbagai bidang kehidupan. Mengubah atau
memperbaharui “motivasi kesadaran” peserta didik agar cinta bahasa Arab memang bukan pekerjaan
mudah oleh karena itu, diperlukan pendekatan edukatif.
Pendekatan ini bisa diakukan melalui
lembaga-lembaga pendidikan dengan cara bahwa setiap pengajar bahasa Arab
hendaknya mampu menumbuhkan motivasi, minat dan
bakat serta menanamkan kesadaran akan pentingnya menguasai bahasa Arab baik
lisan maupun tulis. Tentu terlebih dahulu para guru bahasa Arab membekali
dirinya dengan kemampuan berbahasa Arab dan menguasai metode dan teknik
mengajarkannya dengan menggunakan media pembelajaran serta faktor sarana dan
prasana juga harus diupayakan untuk lebih mendukung. Dalam rangka meningkatkan
kualitas pembelajaran bahasa Arab, nampaknya kita perlu membenahi kembali
sistem pembelajaran bahasa Arab di madrasah.
Berbicara pendekatan edukatif tidak terlepas
dari pelaksanaan proses pembelajaran yang dilaksanakan di lembaga pendidikan, baik
pendidikan formal, non formal maupun informal, dimana di dalamnya terdapat unsur input pembelajaran, proses dan
output. Terkait dengan faktor input tentunya siswa itu sendiri, sedangkan yang
terkait dengan unsur proses, setidak-tidaknya terdiri dari faktor pendidikan
sebagaimana disebutkan diatas, yakni faktor kurikulumnya sendiri harus memadai
(mencakup keseluruhan dari unsur pembelajaran bahasa Arab dengan tujuan dan
orientasi yang berbasis kompetensi), yang didukung oleh sarana dan prasana yang
memadai, SDM atau
guru yang profesional,
alokasi waktu yang memadai serta aplikasi metodologi pembelajaran yang mutahir.
Berdasarkan penjelasan di atas, signifikansi pengembangan
model pembelajaran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam rangka
menumbuhkan motivasi, minat dan bakat siswa dalam pembelajaran bahasa Arab.
Pada
Kelas Mata Pelajaran Bahasa Arab di MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan, pengembangan
model pembelajaran dengan pendekatan qiyasiyah menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan dalam
menumbuhkan motivasi, minat dan bakat siswa. Hal ini tentunya jika didukung oleh guru
dan media pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik.
Diantara
respon yang diberikan siswa kaitannya dengan pengembangan model pembelajaran
qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah adalah:
a.
Model pembelajaran dengan pendekatan qiyasiyah
yang diaplikasikan di MTs Negeri Sumber Bungur dengan segala mekanismenya,
dapat memberikan motivasi lebih
terhadap siswa yang dapat dibuktikan dengan perubahan mind
set siswa yang sebelumnya menganggap Bahasa Arab itu sulit terutama dalam qawaidnya,
menjadi mudah dipaham dengan mengikuti model qiyasiyah ini dengan
menggunakan bahan ajar sendiri yang diberi nama al-Miftah fi talkhisi ‘ilmi
al-sharfi.
b.
Meningkatkan minat belajar siswa dalam menguasai bentuk kata kerja dalam
mufrodat sehingga diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari utamanya di lingkungan madrasah.
c. Mengembangkan bakat belajar siswa dalam
pembelajaran bahasa Arab di kelas, luar kelas dan di luar madrasah. Dalam
hal ini siswa tanpa adanya tekanan dan selalu merasa percaya diri membantu
kesulitan temannya yang lain (di luar kelas Bahasa Arab).
d. Pengembangan model pembelajaran dengan pendekatan qiyasiyah ini
merupakan itik tolak pengembangan Bahasa Arab menuju pada optimalisasi
penguasaan kompetensi kebahasaan yang meliputi istima’, kalam, qira’ah dan
kitabah.
Perkembangan dan
peningkatan motivasi, minat dan bakat tergambar dalam model pembelajaran qawaid
sharraf dengan pendekatan qiyasiyah yang didayagunakan secara proporsional dan
profesional oleh guru bidang studi bahasa Arab kelas Mata Pelajaran Bahasa
Arab MTs Negeri Sumber Bungur
Pamekasan sehingga hasil atau out put yang dihasilkan sesuai dengan harapan dan
target yang tertuang dalam strandar kompetensi lulusan madrasah. Realitas ini
dapat dibuktikan dengan adanya respon positif dan optimal dari siswa kelas Mata Pelajaran Bahasa
Arab MTs Negeri Sumber Bungur
Pamekasan.
Secara teoritis, proses pembelajaran adalah kegiatan kamunikasi yang melibatkan banyak unsur.
Menurut Ahmad Salim, proses pembelajaran adalah kegiatan komunikasi yang
melibatkan 4 unsur, yaitu:[31]
komunikator, komunikan, pesan dan media. Komunikator adalah unsur
pemberi pesan yang dalam hal ini adalah guru. Komunikan adalah unsur
pemberi pesan yang dalam hal ini adalah para siswa. Pesan adalah bahan
yang diberikan dan media adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan
pesan itu.
Pengembangan
model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah menjadi efektif jika model
pembelajaran tersebut dapat menjelaskan apa yang akan disampaikan kepada siswa
secara tepat dan berhasil guna dengan mempertimbangkan aspek efektifitas dan
efisiensi (sederhana dan menarik). Penggunaan model pembelajaran ini secara
optimal sudah dilaksanakan dan dimanfaatkan oleh guru pengajar bahasa Arab pada
kelas Mata Pelajaran Bahasa Arab di MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan sehingga
siswa termotivasi untuk mengembangkan bakat dan minatnya dalam mendalami bahasa
Arab pada semua maharah (istima’, kalam, qiro’ah dan kitabah).
Kendatipun fakus utamanya ada pada dimensi penguasaan qawaid lughawiyah.
3.
Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan
Model Pembelajaran Qawaid Sharraf
dengan Pendekatan Qiyasiyah
di MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan
Secara teroritis, terdapat empat faktor yang mempengaruhi pengembangan
proses pembelajaran, yaitu guru,[32]
siswa, sarana dan lingkungan.[33]
Terkait dengan fungsi guru ini, Piet A. Sahertian
memberikan 3 (tiga) klasifikasi, yaitu:[34] tugas personal,
tugas sosial dan tugas profesional. Pertama adalah tugas personal, yaitu
tugas guru yang bersifat pribadi, artinya bahwa seorang guru harus menatap
dirinya sendiri dan memahami konsep dirinya. Guru itu digugu dan ditiru.
Menurut P. Wiggens dalam bukunya yang berjudul "Student Teacher in
Action" mengatakan bahwa seorang guru harus mampu berkaca pada dirinya
sehingga ia akan melihat tiga pribadi, yaitu: Saya dengan
konsep diri saya (self concept) Saya dengan ide diri saya (self idea) Saya dengan realitas diri saya (self reality). Kedua, tugas sosial yang berarti bahwa misi yang
diemban guru adalah misi kemanusiaan. Mengajar dan mendidik adalah tugas
pemanusiaan manusia. Guru punya tugas sosial, guru adalah seorang penceramah
zaman.[35] Bahkan menurut
Soekarno, mengartikan tugas guru sebagai abdi masyarakat. Oleh karenanya, guru
lebih bersifat memberikan pelayanan kepada manusia (gogos humaniora). Ketiga, tugas profesional
yaitu guru melakukan atau melaksanakan peran profesi (profesional role).
Sebagai peran profesi, guru memiliki kualifikasi profesional, seperti yang
dikemukakan Marion Edmon. Kualifikasi profesional itu antara lain adalah
menguasai pengetahuan yang diharapkan sehingga ia dapat memberikan sejumlah
pengetahuan kepada siswa dengan hasil yang maksimal.[36]
Berdasarkan keterangan di atas, guru bukan hanya berperan sebagai pendidik,
akan tetapi juga menjadi media belajar dan semua yang berkaitan dengan proses
pembelajaran. Sebagaimana dijelaskan oleh, E. Mulyasa bahwa
terdapat 19 peran guru, di antaranya
adalah:[37] guru sebagai
pendidik,[38] pengajar,[39] pembimbing,[40] pelatih,[41] penasehat,[42] pembaharu (innovator),[43] model dan teladan,[44] pribadi,[45] peneliti,[46] pendorong
kreativitas,[47] pembangkit
pandangan,[48] pekerja rutin,[49] pemindah kemah,[50] pembawa ceritera,[51] aktor,[52] emansipator,[53] evaluator,
pengawet,[54] dan sebagai
kulminator.[55]
Demikian halnya dengan siswa yang merupakan organisme yang unik yang
berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya. Sehingga mereka juga memiliki
pengaruh yang cukup signifikan dalam proses pengembangan model pembelajaran
karena mereka memiliki beberapa perbedaan yang tidak dapat dinafikan, misalnya
perbedaan jenis kelamin, sosial ekonomi, pengetahuan, dan sikap.
Oleh karenanya, ada tiga faktor yang mempengaruhi pengembangan model
pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah di MTs
Negeri Sumber Bungur Pamekasan, yaitu: manajemen madrasah, input siswa dan
kompetensi guru.
a.
Manajemen madrasah
Manajemen
madrasah adalah faktor utama yang mempengaruhi berhasil tidaknya pengembangan
model pembelajaran karena ini adalah titik tolak yang menjadi pondasi terbentuk
dan terlaksana semua tahapan pembelajaran yang akan digunakan. Apabila madrasah
dan segala kebijakan yang dimilikinya tidak mendukung terlaksana upaya
pengembangan, maka kekuatan sumber daya manusia baik dari guru maupun siswa
tidak akan pernah teraktualisasi dengan maksimal. Guru dan murid tidak akan
pernah mampu melakukan sesuatu yang hanya dapat dilakukan oleh madrasah.
Misalnya kebijakan penyususnan materi yang akan dijadikan standar acuan,
alokasi waktu yang dapat digunakan serta sarana dan prasarana yang dibutuhkan
untuk menunjang keberlangsungan proses pengembangan pembelajaran yang dalam hal
ini adalah model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah.
Oleh karenanya, MTs Sumber Bungur Pamekasan membuat muatan materi khusus dalam
struktur kurikulum kelas Bahasa Arab dan mengalokasikan waktu yang cukup untuk
mengembangkan potensi siswa dalam proses pengembangan pembelajarannya.
b.
Input Siswa
Siswa adalah
komponen kedua yang mempengaruhi proses pengembangan pembelajaran karena secara
teoritis akan ada keserasian antara input dan in take siswa. Siswa yang tidak
memiliki minat terhadap suatu mata pelajaran tertentu, pasti lebih lambat
perkembangannya daripada siswa yang sejak dari awal memang sudah memiliki
minat. Begitu pula dengan kemampuan awal siswa akan sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan pengembangan pembelajaran karena siswa membutuhkan modal
kompetensi yang dapat dijadikan sebagai materi untuk dikembangkan. Oleh
karenanya, MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan menetapkan dua syarat utama siswa
yang akan dikembangkan potensi Bahasa Arabnya, yaitu memiliki kemampuan dasar
dan memiliki minat untuk berkembang.
c.
Kompetensi guru
Kompetensi
guru juga menjadi kemutlakan dalam rentetan proses pengembangan model
pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah ini.
Karena guru tidak hanya diharuskan menguasai materi dengan baik, Akan tetapi
harus melakukan inovasi dalam strategi pembelajaran baik pada ranah standar
isi, standar proses maupun dalam evaluasi yang berorientasi pada proses edukasi
yang efektif, efisien dan terarah.
A.
Kesimpulan
- Pengembangan model
pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah terdiri
dari empat model pembelajaran yang diaplikasikan secara intensif dan
efektif untuk mendapatkan kualitas pembelajaran yang baik. Pertama, model
pemahaman materi diberikan dengan cara guru memberikan dasar materi yang
akan disajikan berdasar pada Kompetensi dasar dan indikator pembelajaran,
seperti macam-macam bina’, sighat, wazan dan tashrif fi’il tsulatsi
dan ruba’i baik yang mujarrod maupun yang mazid. Kedua,
menghafalkan wazan dilakukan dengan cara guru memberikan contoh wazan
fi’il madhi yang akan dipelajari berdasar pada thariqah tashrif bina’
shahih. Ketiga, mengaplikasikan varian wazan pada setiap huruf
illat yang berbeda. Keempat, mengaplikasikan model-model tashrif pada
lafadz dalam al-Qur’an.
- Respon siswa
terhadap pengembangan model
pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah tergolong positif
dan optimal. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator berikut: (1) memberikan motivasi lebih terhadap siswa, (2) meningkatkan
minat belajar siswa dalam menguasai
bentuk kata kerja dalam mufrodat, (3) mengembangkan bakat
belajar siswa dalam pembelajaran bahasa Arab di kelas, luar kelas dan di luar madrasah, dan (4) titik tolak
pengembangan Bahasa Arab.
- Secara umum, faktor
utama yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengembangan model pembelajaran
qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah ini harus
dilakukan dengan perencanaan dan proses yang profesional. Namun ada
beberapa komponen yang menunjang upaya tersebut, diantaranya adalah: (1)
Manajemen madrasah yang berkualitas, (2) Input siswa, (3) Kompetensi yang
dimiliki guru.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Dasar-Dasar Evaluasi
Pendidikan (Jakarta: Bumi Akasara, 2002)
Ahmad, Muhammad Abdul Qadir,
Thuruqu Ta’lim al-Lughah al-‘Arabiyah (Beirut: Maktabah al-Nahdhah
al-Mishriyah, 1989)
Arsyad, Azhar, Madkhal
ila Thuruqi Ta’lim al Lughah al Ajnabiyah li Mudarris al Lughah al ‘Arabiyah
(Ujung Pandang: al Ahkam, 1998)
Ali, Muhammad, Guru dalam Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru Algesindo)
Darsono, Belajar dan Pembelajaran. (Semarang:
IKIP Semarang Press, 2000)
Djamarah, Saiful Bahri, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002)
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990)
Fattah, Abdul, Musykilatul
Lughah wa al-Takhatub fi Dhau’i al-“ilm al-Lughah al-Nafs (al-Qahirah: Dar
al-Qubah, 2002)
Hamid, M. Abdul, Mengukur
Kemampuan Bahasa Arab (Malang: UIN-Press, 2010)
Ibrahim, Abdul Halim, al-Muwajjah
al-Fanni (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1968)
Khathir, Mahmud Rusydi, Thuruq
Tadris al Lughah al ‘Arabiyah wa al Tarbiyah al Diniyah fi Dhaw’i al Ittihat al
Taqbawiyah al Haditsah (Kairo: Dar al Ma’rifah, 1982)
Langeveld, MJ., Beknopte Theoretische
Paedagogiek (Jakarta: Groningen, 1955)
al-Ma’luf, Louis, al
Munjid fi al Lughah wa al A’lam (Baeirut: Dar al Masyriq, 1987)
Mustofa, Bisri, Metode
dan Strategi Pembelajaran Bahsa Arab (Malang: UIN-Maliki Press, 2012)
Munawwir, Kamus
al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984)
Madkur, Ali ,Ahmad Finun
al-Lughah al-‘Arabiyah (Riyadh: Dar al-Sawwaf, 1991)
Mustofa, Syaiful, Strategi
Pembelajaran Bahasa Arab Inovatif (Malang: UIN-Maliki Press, 2011)
Mujib, Fathul, Permainan
Edukatif Pendukung Pembelajaran Bahasa Arab (Yogyakarta: Diva Press, 2012)
Mahmudi, Husein, Wasa’il al-Ittishal wa
al-Tiknulujiya fi al-Ta’lim (Kuwait: Dar al-Qalam,
1996)
Mulyasa, E., Menjadi Guru Profesional: Menciptakan
Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2007)
Muchtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Jakarta:
Gema Insani Press, 2003)
Qosim, Mohammad, ed., Pondok Pesantren di Pamekasan;
Pertumbuhan dan Perkembangannya (Pamekasan: P3M, 2002)
Rosyidi, Abd Wahab, Memahami
Konsep Dasar Pembelajaran Bahasa Arab (Malang:
UIN Maliki Press, 2012)
Rasyidi, Mahmud, Thuruqu
Tadrisi al-Lughah al-‘Arabiyah wa al-Tarbiyah al-Diniyah (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1982)
al-Rikabi, Judat, Thuruqu
Tadrisi al-Lughah al-‘Arabiyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1996)
Sudjana, Nana, Penelitian
Hasil Proses Belajar Mengajar. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001)
Sugandi, Achmad, Teori Pembelajaran. (Semarang: UPT MKK UNNES, 2004)
al Sayyid, Amin Ali, Fi
‘Ilmi al Nahwi (Kairo: Dar al Ma’arif, 1977)
Samman, Mahmud Ali, al
Taujih fi Tadris al Lughah al ‘Arabiyah; Kitab al Mu’allim wa al Muwajjih wa al
Bahits fi Thuruqi Tadris al Lughah al ‘Arabiyah (Kairo: Dar al Ma’arif,
1981)
al-Syayid, Mahmud Ahmad, Al-mujaz
fi thuruq tadris al-lughah al-arabiyah, (dar al-‘audah : Berut, 1980)
Suparlan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa; dari
Konsepsi sampai dengan Implementasi (Yogyakarta: Hikayat, 2004)
Sahertian, Piet A., Profil Pendidik Profesional (Yogyakarta: Andi Offset, 1994)
Sanjaya, Wina, Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Proses (Jakarta: Kencana, 2006)
Hamzah B. Uno, Perencanaan Pembelajaran.
(Jakarta: Bumi Aksara, 2006)
Zaenuddin, Radliyah, Metodologi
dan Stretegi Alternatif (Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, 2005)
Zulhannan, Teknik
Pembelajaran Bahasa Arab Interraktif (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2014)
[1] Dalam proses pembelajaran, motivasi
merupakan salah satu aspek dinamis yang sangat penting. Woodwort (1955: 337)
mengatakan bahwa "A motive is a set predisposes the individual of
certain activities and for seeking certain goals". Suatu motif adalah
suatu set yang bisa membuat individu melakukan kegiatan-kegiatan tertentu untuk
mencapai tujuan. Dengan demikian, perilaku atau tindakan yang ditunjukkan
seseorang dalam upaya mencapai tujuan tertentu sangat tergantung dari motif
yang dimilikinya. Hal ini diungkapkan oleh Arden (1957): "Motives as
internal condition arouse sustain, direct and determine the intensity of
learning effort, and also define the set satisfying or unsatisfying
consequences of goal". Lihat: Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran;
Berorientasi Standar Proses Pendidikan, hlm. 27.
[2] Lihat: Azhar Arsyad, Madkhal
ila Thuruqi Ta’lim al Lughah al Ajnabiyah li Mudarris al Lughah al ‘Arabiyah
(Ujung Pandang: al Ahkam, 1998), hlm., 23.
[3] Radliyah Zaenuddin, Metodologi
dan Stretegi Alternatif (Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, 2005), hlm., 33.
[4] Azhar Arsyad, Madkhal ila Thuruqi Ta’lim al Lughah al Ajnabiyah
li Mudarris al Lughah al ‘Arabiyah (Ujung Pandang: al Ahkam, 1998), hlm.,
23.
[5] Ibid.,hlm., 24.
[6] Ibid., hlm., 26.
[7] Ibid., hlm., 30.
[8] Ibid., hlm., 58.
[9] Abdul ‘Alim Ibrahim, al-Muwajjih
al-Fanni li Mudarris al-Lughah al-Arabiyah (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1973),
hlm., 78-81.
[10] Munawwi, Kamus
al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap (Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1984), hlm., 1224.
[11] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990),
hlm., 376.
[12] Louis al-Ma’luf, al
Munjid fi al Lughah wa al A’lam (Baeirut: Dar al Masyriq, 1987), hlm., 643.
[13] Al Syarif Ali Ibn
Muhammad al Jurjani, Kitab al Ta’rifat (Jeddah: al Haramain, 1989),
hlm., 171.
[14] Amin Ali al Sayyid, Fi
‘Ilmi al Nahwi (Kairo: Dar al Ma’arif, 1977), hlm., 14.
[15] Zulhannan, Teknik
Pembelajaran Bahasa Arab Interraktif (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2014), hlm., 112.
[16] Bisri Mustofa, Metode
dan Strategi Pembelajaran Bahsa Arab (Malang: UIN-Maliki Press, 2012),
hlm., 61.
[17] Radliyah Zaenuddin, Metodologi
dan Strategi Alternatif Pembelajaran Bahasa Arab, hlm., 96.
[18] Ali Ahmad Madkur, Finun
al-Lughah al-‘Arabiyah (Riyadh: Dar al-Sawwaf, 1991), hlm., 337-338.
[19] Mahmud Ali Samman, al Taujih fi Tadris al Lughah al ‘Arabiyah; Kitab al
Mu’allim wa al Muwajjih wa al Bahits fi Thuruqi Tadris al Lughah al ‘Arabiyah
(Kairo: Dar al Ma’arif, 1981), hlm., 98.
[20] Mahmud Rusydi Khathir, Thuruq Tadris al Lughah al ‘Arabiyah wa al
Tarbiyah al Diniyah fi Dhaw’i al Ittihat al Taqbawiyah al Haditsah (Kairo:
Dar al Ma’rifah, 1982), hlm., 215-216.
[21] Syaiful Mustofa, Strategi
Pembelajaran Bahasa Arab Inovatif (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), hlm.,
98.
[22] M. Abdul Hamid, Mengukur
Kemampuan Bahasa Arab (Malang: UIN-Press, 2010), hlm., 67-68.
[23] Rusydi Ahmad
Tha’imah,dkk, ibid, hal. 48
[24] Judat al-Rikabi, Thuruq
tadris al-lughah al-arabiyah, (dar al-fikr al-mu’ashirah : Berut, 1996),
hal. 9; baca: Mahmud Ahmad al-Syayid, Al-mujaz fi thuruq tadris al-lughah
al-arabiyah, (dar al-‘audah : Berut, 1980), 11-12.
[25] Ali Ahmad Madkur, ibid,
hal 35-36.
[26] Rusydi Ahmad
Tha’imah,dkk, ibid, hal. 48
[27] Fathul Mujib, Permainan
Edukatif Pendukung Pembelajaran Bahasa Arab (Yogyakarta: Diva Press, 2012),
hlm. 162-164.
[28] Periksa strategi
pembelajaran tarakib: Syaiful Mustofa, Strategi Pembelajaran Bahasa Arab
Inovatif (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), hlm. 102-111.
[29] Abd. Wahab Rosyidi, Memahami
Konsep Dasar Pembelajaran Bahasa Arab, hlm. 67-68.
[30] Saiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2002), hlm. 166-167.
[31] Ahmad
Salim, Mudzakarah al-Daurat al-Tarbawiyah, hlm. 1., dalam Acep Hermawan, Motodologi Pembelajaran Bahasa Arab, hlm. 224. Bandingkan dengan Ahmad Salim, Mudzakarah
al-Daurat al-Tarbawiyah, hlm. 3. Bandingkan dengan: Husein Mahmudi, Wasa’il
al-Ittishal wa al-Tiknulujiya fi al-Ta’lim (Kuwait: Dar al-Qalam, 1996),
hlm. 44. Dalam hal ini Abdul Halim juga memberika penjelasan tentang cara menarik
minat dan bakat siswa dengan pembelajaran yang menyenangkan. Lihat: Abdul ‘Alim Ibrahim, Al-Muwajjih al-Fanni li Mudarris al-Lughah
al-‘Arabiyah, hlm. 432
[32] Secara etimologis, istilah guru berasal
dari bahasa India yang artinya adalah orang yang mengajarkan tentang kelepasan
dari sengsara.[32] Dalam
bahasa Arab, guru dikenal dengan al-mu'allim
dan al-usta>dh yang bertugas memberikan ilmu
dalam majlis ta'li>m (tempat
memperoleh ilmu). Dengan demikian, al-mu'allim
dan al-usta>dh dalam hal ini juga memiliki
pengertian sebagai orang yang bertugas membangun aspek spiritualitas manusia.
Pengertian guru kemudian semakin luas, tidak hanya terbatas dalam kegiatan
keilmuan yang bersifat kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) dan
kecerdasan intelektual (intellectual intelligence), tetapi juga
menyangkut kecerdasan kinestetik jasmaniah (bodily kinesthetic), seperti
guru tari, guru olahraga, guru senam, dan guru musik. Semua kecerdasan itu pada
hakikatnya juga menjadi bagian dari kecerdasan ganda (multiple intelligence)
sebagaimana dijelaskan oleh pakar psikologi terkenal Howard Garedner.[32]
Dengan demikian, guru dapat diartikan sebagai orang yang tugasnya terkait
dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dalam semua aspeknya baik spiritual
dan emosional, intelektual, fiskal, maupun aspek lainnya. Lihat: Suparlan,
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa; dari Konsepsi sampai dengan Implementasi (Yogyakarta:
Hikayat, 2004), hlm. 36.
[33] Lihat: Wina Sanjaya, Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Proses (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.
50-55.
[35] MJ. Langeveld, Beknopte
Theoretische Paedagogiek (Jakarta: Groningen, 1955) sebagaimana dikutip
oleh Piet A. Sahertian dalam Profil Pendidik Profesional, hlm. 13. Lihat juga:
Muhammad
Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru Algesindo),
hlm. 4-10.
[36] Ibid.
[37] E. Mulyasa, Menjadi
Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), 37-65.
[38] Guru dalam hal ini
diharapkan menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para peserta didik dan
lingkungannya.
[39] Dalam hal ini, guru
membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang
belum diketahuinya, membentuk kompetensi, dan memahami materi standar yang
dipelajari.
[40] Berdasarkan
pengetahuan dan pengalamannya, guru harus bertanggung jawab atas kelancaran
proses pembelajaran, baik dari aspek fisik, mental, emosional, kreatifitas,
moral dan spiritual.
[41] Proses pendidikan dan
pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, baik intelektual maupun motorik,
sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih.
[42] Guru adalah seorang
penasehat bagi peserta didik, bahkan bagi orang tua meskipun mereka tidak
memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat
berharap untuk menasehati orang.
[43] Guru menerjemahkan
pengalaman yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna bagi peserta didik.
[44] Guru merupakan model
atau teladan bagi para peserta didik dan semua orang yang menganggap dia
sebagai guru. Lihat juga: Muchtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 94.
[45] Sebagai individu yang
berkecimpung dalam pendidikan, guru harus memiliki kepribadian yang
mencerminkan seorang pendidik. Tuntutan akan kepribadian sebagai pendidik
kadang-kadang dirasakan lebih berat dibanding profesi lainnya.
[46] Pembelajaran
merupakan seni, yang dalam pelaksanaannya memerlukan penyesuaian dengan kondisi
lingkungan. Untuk itu diperlukan berbagai penelitian, yang di dalamnya
melibatkan guru. Oleh karena itu, guru adalah seorang pencari atau peneliti.
[47] Kreativitas merupakan
hal yang sangat penting dalam pembelajaran, dan guru dituntut untuk
mendemonstrasikan dan menunjukkan proses kreativitas tersebut. Kreativitas
merupakan sesuatu yang bersifat universal dan merupakan ciri aspek dunia
kehidupan. Kreativitas ditandai dengan adanya kegiatan menciptakan sesuatu yang
sebelumnya tidak ada dan tidak dilakukan oleh seseorang atau adanya
kecenderungan untuk menciptakan sesuatu.
[48] Dalam hal ini guru
dituntut untuk memberikan dan memelihara pandangan tentang keagungan kepada
peserta didiknya. Mengemban fungsi ini, guru harus terampil dalam berkomunikasi
dengan peserta didik di segala umur, sehingga setiap langkah dari proses
pendidikan yang dikelolanya dilaksanakan untuk menunjang fungsi ini.
[49] Guru bekerja dengan
keterampilan dan kebiasaan tertentu, serta kegiatan rutin yang amat diperlukan
dan seringkali memberatkan. Jika kegiatan tersebut tidak dikerjakan dengan
baik, maka bisa mengurangi atau merusak keefektifan guru pada semua peranannya.
[50] Peran guru di sini
adalah memindahkan dan membantu peserta didik meninggalkan hal lama menuju
sesuatu yang baru yang bisa mereka alami.
[51] Di sini guru
menggunakan suaranya untuk memperbaiki kehidupan melalui puisi dan berbagai
cerita tentang manusia.
[52] Sebagai seorang
aktor, guru harus melakukan apa yang ada dalam naskah yang telah disusun dengan
mempertimbangkan pesan yang akan disampaikan kepada penonton.
[53] Dalam hal ini, guru
harus bisa melihat sesuatu yang tersirat dan yang tersurat pada realitas
peserta didik untuk mencari kemungkinan-kemungkinannya. Oleh karenanya, guru
akan dianggap telah melakukan fungsinya sebagai emansipator, ketika peserta
didik yang telah menilai dirinya sebagai pribadi yang tidak berharga, merasa
dicampakkan orang lain atau selalu diuji dengan berbagai kesulitan sehingga
hampir putus asa, dibangkitkan kembali menjadi pribadi yang percaya diri.
[54] Sebagai pengawet,
guru harus berusaha mengawetkan pengetahuan yang telah dimiliki dalam
pribadinya, dengan arti bahwa guru harus berusaha menguasai materi standar yang
akan disajikan kepada peserta didik.
[55] Guru adalah orang
yang mengarahkan proses belajar secara bertahap dari awal hingga akhir
(kulminasi).
assalamuailkum...
BalasHapuskalo saya mau menghubungi bapak kemana ya?
ada yang ingin ditanyakan, kebetulan saya lagi penelitian tentang sharaf
Boleh minta kontak nya? Ada yg mau saya tanyakan
BalasHapus