Jumat, 14 Agustus 2015

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN QAWAID SHARRAF DENGAN PENDEKATAN QIYASIYAH DI MTS NEGERI SUMBER BUNGUR PAMEKASAN

Achmad Muhlis, M.A.


Abstrak  :    Fokus kajian yang akan dibahas dalam penelitian adalah deskripsi model pembelajaran, respon siswa serta faktor- faktor yang mempengaruhi pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah terdiri dari empat model pembelajaran yang diaplikasikan secara intensif dan efektif untuk mendapatkan kualitas pembelajaran yang baik. Pertama, model pemahaman materi diberikan dengan cara guru memberikan dasar materi yang akan disajikan berdasar pada Kompetensi dasar dan indikator pembelajaran. Kedua, menghafalkan wazan dilakukan dengan cara guru memberikan contoh wazan fi’il madhi yang akan dipelajari berdasar pada thariqah tashrif bina’ shahih. Ketiga, mengaplikasikan varian wazan pada setiap huruf illat yang berbeda. Keempat, mengaplikasikan model-model tashrif pada lafadz dalam al-Qur’an. Respon siswa terhadap pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah tergolong positif dan optimal. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator berikut: (1) Memunculkan motivasi, (2) meningkatkan minat belajar siswa, (3) Mengembangkan bakat belajar siswa, dan (4) titik tolak pengembangan Bahasa Arab. Secara umum, faktor utama yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah ini harus dilakukan dengan perencanaan dan proses yang profesional. Namun ada beberapa komponen yang menunjang upaya tersebut, diantaranya adalah: (1) Manajemen madrasah yang berkualitas, (2) Input siswa, (3) Kompetensi yang dimiliki guru.

                    Kata kunci: Qawaid sharraf, pendekatan qiyasiyah, al-madkhal al-insani

A.    Pendahuluan     
Qawaid Sharaf atau tashsrif merupakan salah satu ilmu yang sangat penting khususnya bagi siswa, peminat maupun pemerhati bahasa Arab, karena qawaid sharaf merupakan salah satu alat untuk dapat menguasai serta mendalami bahasa Arab fushhah secara utuh dan komperehensif. Berangkat dari hal tersebut diatas, pembelajaran sharaf harus menjadi prioritas utama yang tidak dapat dihindarkan. Karena pada dasarnya pembelajaran sharaf adalah mengenalkan dan membiasakan siswa, peminat dan pemertihati bahasa Arab menggunakan kaidah-kaidah sharaf secara benar dan tepat, sehingga terhindar dari kesalahan lisan, baca dan kesalahan dalam ekspresi tulisan.
Dalam proses pengembangan pembelajaran qawaid sharraf di MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan, seorang guru dituntut mampu menampilkan diri sebagai sosok yang dapat membangkitkan motivasi[1] anak didik khususnya dalam mempelajari qawaid sharraf, menciptakan suasana pembelajaran yang efektif sehingga proses pengajarannya dapat berlangsung dengan penuh keakraban, kesenangan dan menggembirakan serta sistematika materi yang terstruktur sesuai dengan kemampuan dan karakter siswa. Hal ini menuntut guru qawaid sharraf untuk memiliki dan menguasai keterampilan tertentu yang berhubungan dengan kompetensi dan kapabilitasnya dalam ilmu-ilmu kebahasaan, cara mengajarkannya dan cara berinteraksi dengan anak didiknya serta berbagai pendekatan pembelajarannya.
Pada umumnya guru qawaid sharraf yang notabene berada dilingkungan pondok pesantren, dalam kegiatan pembelajarannya, banyak ditemukan guru “mu’alim” qawaid sharraf  yang belum memiliki kompetensi dan kapabilitas yang seimbang antara kemampuan berbahasa (ilmu bahasa) dengan kemampuan metodologis pembelajaran qawaid sharraf. Di satu sisi dijumpai guru qawaid sharraf yang memiliki kemampuan qawaid sharraf yang baik namun tidak bisa mengajarkan secara baik karena kendala metodologis yang belum dikuasai, pembelajaran qawaid sharraf menjadi monoton dan terkesan stagnan. Akibatnya, pembelajaran qawaid sharraf kurang optimal serta tidak memenuhi kebutuhan anak didik. Kenyataan seperti ini secara teoritis membawa konsekwensi logis terjadinya kegagalan menjawab persoalan kriteria ideal guru qawaid sharraf selama ini. Kendatipun demikian, pada tataran empirisnya, kekurangan-kekurangan tersebut ternyata menghasilkan out put peserta didik yang memiliki kualitas kebahasaan yang cukup baik bahkan dapat mengalahkan kualitas lembaga yang secara teoritis memiliki semua fasilitas yang dibutuhkan.

B.    Pengembangan Pembelajaran Bahasa Arab
Dalam pembelajaran bahasa Arab dikenal lima macam pendekatan, yaitu: pendekatan manusiawi (humanistic approach)[2], pendekatan berbasis media (media based approach), pendekatan aural-oral (aural-oral approach), pendekatan analisis dan non analisis (analytical and non analitycal approach), dan pendekatan kamunikatif (communicative approach).[3]
Pendekatan manusiawi yang dalam bahasa arab disebut al-madkhal al-insani, sangat memfokuskan perhatiannya pada peserta didik. Peserta didik dipandang sebagai manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi, bukan alat atau benda mati yang menerima rangsangan-rangsangan dan menjawabnya.[4] Dengan pola pandang seperti ini setidaknya dapat mempercepat interrelasi antara pengajar dan murid dalam hubungannya dengan proses transfering knowledge, karena kebutuhan psikologi murid dapat terpenuhi serta minat, bakat dan motivasinya dapat dikembangkan.
Pendekatan berbasis media yang dalam bahasa Arab disebut al-madkhal al-taqni adalah pendekatan yang mengandalkan kepada teknik penggunaan media pengajaran. Pendekatan ini bertujuan untuk melengkapi konteks yang menjelaskan makna kata-kata, struktur dan istilah-istilah dan kebudayaan baru melalui gambar, peta, foto, contoh model yang hidup, kartu dan segala sesuatu yang membantu menjelaskan makna kata asing kepada murid.[5]
Pendekatan analisis dan non analisis yang dikenal dengan istilah al-madkhal al-tahlili wa ghair al-tahlili adalah pendekatan yang digagas oleh Stern yang intinya adalah pendekatan formal karena ia memantulkan orientasi aliran sastra tentang analisa bentuk-bentuk percakapan, pidato dan teori komunikasi lisan. Perbedaan antara analisis dan non analisis dalam perspektif ini adalah: Pertama, pendekatan analisis merupakan pendekatan yang menjadikan sosio linguistik sebagai dasar pertimbangan analisis. Diskursus ini memfokuskan diri pada pembahasan semantik, aktifitas bicara, analisis sistem dan pengertian pikiran serta menuntut penganalisaan kebutuhan sosio-linguistik program baru dan program profesional yang didasarkan pada silabus. Kedua, pendekatan non analisis adalah pendekatan yang menjadikan yang menjadikan pembahasan psiko-linguistik dan ilmu pendidikan sebagai asas pertimbangan analisis yang bersifat global, integral dan alami. Pendekatan ini menuntut pengajaran bahasa pada situasi-situasi kehidupan yang alami dan difokuskan pada topik-topik pembicaraan yang berkaitan dengan kehidupan psikologis peserta didik.[6]
Pendekatan komunikatif yang dalam bahasa Arab dikenal dengan al-madkhal al-ittishali merupakan pendekatan yang memfokuskan pada kemampuan kamunikasi aktif dan praktis. Pendekatan ini merupakan perpaduan strategi-strategi yang bertumpu pada suatu tujuan tertentu yang pasti, yaitu melatih peserta didik menggunakan bahasa secara spontanitas dan kreatif. Oleh karenanya pendekatan ini mendorong peserta didik untuk berani menggunakan bahasa Arab.[7]
Pendekatan aural-oral yang dalam bahasa Arab dikenal dengan al-madkhal al-sam’i al-syafahi. Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa bahasa adalah apa yang didengar dan yang diucapkan sedangkan tulisan hanyalah representasi dari ujaran.[8] Berangkat dari asumsi ini, maka bahasa yang pertama adalah ujaran. Untuk itu pengajaran bahasa harus dimulai dengan memperdengarkan bunyi-bunyi bahasa dalam bentuk kata atau kalimat secara klasikal kemudian meminta murid untuk menirukannya untuk kemudian dihafalkan sebelum pelajaran membaca dan menulis diajarkan.
Berdasar pada beberapa pendekatan di atas, Abdul ‘Alim Ibrahim memberikan landasan prinsip pengembangan pembelajaran bahasa Arab, yaitu:[9] Prioritas, Akurasi dan Gradasi

C.    Pembelajaran Qawaid
Gramatika (qawaid) secara etimologis adalah dasar, pedoman, asas, peraturan.[10] Dapat juga diartikan rumusan asas-asas yang menjadi hukum.[11] Di samping itu, Louis al Ma’luf mengartikan undang-undang baku yang dihimpun secara terikat.[12] Sedangkan pengertian qawaid secara terminologis adalah sebuah premis umum yang dikonsiderasikan dengan seluruh spesiesnya.[13] Pemahaman yang hampir sama disampaikan oleh Amin Ali al Sayyid bahwa qawaid adalah sebuah paradigma yang bersifat universal disimpulkan dari perkataan orang Arab.[14]
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa qawaid merupakan aturan-aturan baku yang telah menjadi konsensus dan harus diikuti oleh pemakai bahasa serta dikonsiderasikan dengan penutur aslinya.
Sedangkan tujuan mempelajari qawaid adalah agar siswa dapat memahami dan memberi pemahaman terhadap lawan bicaranya tentang pembicaraan atau tulisan secara baik dan benar.[15] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gramatika bukanlah tujuan secara langsung melainkan hanya sebagai media untuk mencapai tujuan yang dimaksud.
Seiring dengan perkembangan situasi dan teknologi dalam pembelajaran, maka berkembang pula berbagai metode pembelajaran yang merupakan pengembangan dari metode sebelumnya. Salah satu pengembangan metode itu adalah thariqah al-qawa’id (grammar method). Konsep pembelajaran ini, guru mengajar bahasa Arab dengan menghafal kaidah-kaidah nahwiyah, sharfiyah, mufradat serta tarkib. Guru dalam metode ini tidak banyak memperhatikan bahasa Arab tetapi lebih mementingkan belajar kaidah dalam pembelajarannya. Kaidah-kaidah nahwiyah, sharfiyah, dan keterampilan menerapkannya lebih penting dari pada latihan-latihan kebahasaan.[16]
Para pakar bahasa menyatakan bahwa mempelajari gramatika bukanlah merupakan tujuan tetapi merupakan media untuk mengevaluasi kalam dan kitabah seseorang (wasilah al-taqwim). Pada perkembangan terkini, pengajaran gramatika mulai berubah pola ajar dengan mengaitkannya dengan kebutuhan riil bahasa keseharian peserta didik yaitu berkisar pada pola-pola (uslub) yang digunakan dalam teks wacana, teks istima’, atau membahas kesalahan-kesalahan yang ada pada hasil karangan peserta didik, baik kesalahan individual maupun kesalahan umum (common mintakes). Pengajaran gramatika yang berdasarkan kebutuhan ini (al-qawaid ‘ala al-asas al-wadzifi) dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh peserta didik, terutama agar terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam berbicara dan menulis. Pola ini mendorong peserta didik untuk belajar qawaid secara sungguh-sungguh dan memiliki akses langsung bagi peserta didik dalam menentukan kata, menyusun kalimat serta meniadakan hal-hal yang dianggap tidak penting dalam komunikasi kesehariannya.[17]

D.   Pembelajaran Qawaid Sharraf dengan Pendekatan Qiyasiyah
Pendekatan qiyasiyah dibangun dengan menghafalkan kaidah kemudian melanjutkannya dengan mendatangkan contoh yang menguatkan dan memperjelas maknanya.[18] Sedangkan menurut Mahmud Ali al Saman, pendekatan qiyasiyah merupakan pendekatan menjabarkan kaidah pada contoh untuk memperdalam atau dari kaidah yang bersifat umum pada kaidah yang bersifat khsusu, dari umum ke khusus.[19] Jadi pendekatan ini berupaya memperjelas qawaid  yang akan disampaikan dengan menggunakan sebagian contoh yang nantinya akan diperdalam melalui latihan.[20]
Thariqah qiyasi adalah thariqah yang diadopsi dari thariqoh terdahulu yang meliputi tiga langkah pengaplikasiannya yaitu: Pertama, guru mempermudah pembelajaran qawaid dengan menyebutkan qaidah-qaidah atau ta’rif dari unsur yang umum pada yang khusus, kedua mendatangkan sebagian contoh, dan ketiga memberikan latihan pada siswa untuk mengukur tingkat pemahaman terhadap materi qawaid yang sudah diberikan.[21]
Adapun langkah aplikatif bagi seorang guru jika ingin menerapkan metode qiyasi adalah sebagai berikut:[22]
  1. Guru masuk kelas dan memulai pelajaran dengan menyampaikan tema tertentu.
  2. Guru melanjutkan dengan menjelaskan kaidah-kaidah sharraf.
  3. Pelajaran dilanjutkan dengan siswa memahami serta menghafal kaidah-kaidah sharraf.
  4. Guru memberikan contoh atau teks yang berkaitan dengan kaidah.
  5. Guru memberikan kesimpulan pelajaran.
  6. Setelah dianggap cukup, siswa diminta mengerjakan soal-soal latihan.

E.    Deskripsi Model Pembelajaran Qawaid Sharraf Dengan Pendekatan Qiyasiyah di MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan
Dalam kaitannya dengan pengembangan pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah, MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan menekankan aplikasinya pada kelas Mata Pelajaran Bahasa Arab. Hal ini dikarenakan kurikulum dan alokasi waktu yang diberikan pada kelas tersebut sangat mendukung terhadap proses pengembangan pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah.
Modal utama pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah adalah cukupnya alokasi waktu yang diberikan mengingat banyaknya tahapan-tahapan yang harus dilakukan.
Selain alokasi waktu yang memadai, kesiapan mental dan kompetensi awal siswa menjadi acuan terlaksananya proses pengembangan pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah ini. Kesiapan mental dibutuhkan untuk memberikan motivasi pada siswa untuk lebih mendalami kaidah-kaidah kebahasaan dalam sharraf mengingat eksistensinya yang tidak dapat dipisahkan dari materi bahasa Arab itu sendiri, mereka harus selalu termotivasi untuk mempelajai Bahasa Arab secara intensif. Sedangkan kompetensi awal yang harus dimiliki siswa diharapkan mampu memberikan warna terhadap proses pengembangan pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah ini. Artinya setiap siswa yang ada pada kelas Bahasa Arab ini sudah memiliki modal awal sehingga pembelajaran ini merupakan pengembangan dan peningkatan kompetensi menuju arah yang lebih efektif.
Secara umum, model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah di kelas ini meliputi pemahaman materi, menghafalkan wazan, mengaplikasikan varian wazan pada setiap huruf illat yang berbeda dan mengaplikasikan model-model tashrif pada lafadz dalam al-Qur’an.
Jadi 4 model pembelajaran tersebut diaplikasikan secara intensif dan efektif untuk mendapatkan kualitas pembelajaran yang baik. Model pertama adalah pemahaman materi yang diberikan dengan cara guru memberikan dasar materi yang akan disajikan berdasar pada Kompetensi dasar dan indikator pembelajaran. Misalnya: mengenalkan macam-macam bina’, sighat, wazan dan tashrif fi’il tsulatsi dan ruba’i baik yang mujarrod maupun yang mazid. Pengenalan materi ini disajikan secara sederhana agar supaya siswa mampu memahami secara cepat, sehingga pendalamannya lebih ditekankan pada praktek.
Model kedua adalah menghafalkan wazan dilakukan dengan cara guru memberikan contoh wazan fi’il madhi yang akan dipelajari berdasar pada thariqah tashrif bina’ shahih.
Jadi pada model ini, siswa diminta untuk menghafalkan semua wazan dengan menggunakan bina’ shahih baik fi’il tsulatsi, fi’il tuba’i yang mazid dan mujarrod. Pada proses ini ada beberapa strategi yang dilakukan guru, yaitu:
1.    Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang bertujuan untuk mempermudah siswa dalam melakukan regulasi penghafalan materi. Kelompok ini akan berubah dengan penyesuaian ketercapaian materi yang dihafal agar supaya siswa yang cepat tidak dirugikan, demikian pula siswa yang lambat tidak tertekan secara psikologis.
2.    Setiap siswa memiliki target tertentu dalam setiap semester yang ditentukan oleh guru. Misalnya untuk kelas 7, menghafalkan tashrif isthilahi fi’il tsulatsi mujarrad dan mazid thariqah tahsrif bina’ shahih, mahmuz, mudha’af, mitsal, dan ajwaf. Kelas 8 menghafalkan tashrif isthilahi fi’il tsulatsi mujarrad dan mazid thariqah tahsrif bina’ naqish, lafif dan tashrif isthilahi fi’il ruba’i mujarrad, mazid dan mulhaq, tashrif lughawi thariqoh tashrif bina’ shahih, mudha’af, mahmuz, mitsal, ajwaf, naqis, lafif. Kelas 9 menghafalkan thariqoh tashrif lughawi isim fa’il, isim maf’ul, fi’il mudhari’ mabni lil fa’il, fi’il amar, isim zaman/makan, isim alat serta fawaid tsulatsi mazid ruba’i, tsulatsi mazid khumasi, tsulatsi mazid sudasi, ruba’i mazid khumasi, ruba’i mazid sudasi dan ruba’i mulhaq.
3.    Siswa diperbolehkan menghafalkan di atas target yang telah ditetapkan karena target tersebut bersifat minimal sehingga siswa dapat melampaui ketentuan yang sudah diberikan.
4.    Siswa yang tidak mencapai target akan diberi waktu tambahan untuk mengejar target dengan dibantu oleh teman yang hafalannya sudah melampaui.
5.    Setiap siswa yang sudah menghafalkan satu tema tashrif dibubuhi tanda tangan guru sebagai tanda untuk proses selanjutnya.
6.    Guru melakukan evaluasi dalam setiap pekan dengan memberikan test secara acak pada siswa maupun materi hafalannya dengan berdasar pada tanda tangan yang sudah diberikan sebelumnya.
7.    Pada akhir semester diadakan i’lan tashrif untuk mengukur kemampuan siswa dalam hafalannya sehingga siswa yang berkualitas akan diluluskan dengan predikat mumtaz.
8.    Apabila ada siswa kelas 9 (kelas akhir) yang hafal materi secara utuh mulai dari awal sampai akhir dengan melewati test yang cukup ketat, maka dia akan mendapatkan reward berupa tablet android 7 inch dari madrasah sebagai bentuk stimulus untuk teman-temannya yang lain.
Dari penjelasan strategi di atas, terlihat bahwa sistem yang digunakan untuk menghafalkan materi yang merupakan prasyarat penguasaan qawaid sharfiyah tergolong efektif. Hal ini didasarkan pada realitasnya yang sudah tidak konvensional melainkan diaplikasikan dengan inovasi yang cukup baik dalam rangka memaksimalkan varian potensi yang dimiliki siswa.
Model yang ketiga adalah mengaplikasikan varian wazan pada setiap huruf illat yang berbeda. Pada tahapan ini, guru berupaya untuk mengenalkan pada siswa ketika fi’il atau kata kerja yang dijadikan sampel terdiri dari huruf illat, maka akan terjadi perubahan cara tashrifnya. Hal ini dikarenakan huruf illat tersebut (baik yang terdapat pada fa’ fi’il, ‘ain fi’il dan lam fi’il) memiliki kaidah tashrif sendiri di luar kaidah baku. Dengan pengenalan ini, secara otomatis siswa dapat mengaplikasikan fi’il-fi’il selain bina’ shahih pada tashrif isthilahi yang tsulatsi, ruba’i, mujarrad, mazid dan mulhaq. Orientasi pengenalan ini bertujuan agar supaya siswa tidak secara general melakukan tashrif mengikuti bina’ shahih tanpa melihat fi’ilnya apakah masuk pada kategori shahih, mudha’af, mahmuz, mitsal, ajwaf, naqis, dan lafif.
Model yang keempat adalah mengaplikasikan model-model tashrif pada lafadz dalam al-Qur’an. Model ini diberikan kepada siswa dengan tujuan agar supaya siswa mengetahui dimana letak perubahan-perubahan fi’il yang ada pada teks asli yang dalam hal ini menggunakan al-Qur’an. Strategi ini dilakukan agar siswa terbiasa mengenal kata dasar pada kata dalam al-Qur’an sehingga makna yang terkandung di dalamnya juga mengalami perubahan. Model ini disajikan dengan menggunakan pola pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa.
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa model pengaplikasian tashrif dalam al-Qur’an sangat penting dalam memaksimalkan ranah psikomotor siswa, disamping itu pemahaman siswa terhadap fungsi dan signifikansi perubahan-perubahan pada lafadz dalam satu fi’il tertentu menjadi lebih komprehenship karena tidak hanya terfokus pada ranah teoritis saja, melainkan juga pada ranah empiris.
Dalam kaitannya dengan langkah implementatif yang disampaikan pada siswa, pengembangan pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah ini dilakukan dengan beberapa tahapan yang bersifat taktis, diantaranya adalah: Pembagian kelompok, penjelasan mekanisme, evaluasi.


F.     Respon Siswa Terhadap Pengembangan Model Pembelajaran Qawaid Sharraf Dengan Pendekatan Qiyasiyah Di MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan
Dalam kaitannya dengan pengembangan pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah yang merupakan salah satu penunjang jenis kemampuan berbahasa yang ingin dicapai dalam konteks pembelajaran Bahasa Arab. Hal ini didasarkan pada realitas pada proses pembelajaran Bahasa Arab dimana siswa yang seharusnya tertarik untuk menggunakan Bahasa Arab justru menjadi tidak tertarik, tidak terangsang sehingga suasana menjadi kaku bahkan macet. Kondisi ini sebenarnya terjadi karena keterbatasan dalam pengolahan dan pengembangan kosa kata yang akan dipakai dalam menerapkan kemampuan berbicara, misalnya ada perubahan kata kerja ketika dhomir yang ingin digunakan berbeda.
Pengembangan pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah ini berdampak positif terhadap siswa dalam berbagai macam aspek terutama pada wilayah kerumitan perubahan kata kerja yang merupakan salah satu modal dalam mengembangkan pembelajaran maharatul lughawiyah. Diantara respon siswa yang bisa dijadikan sebagai indikator adalah sebagai berikut:
1.    Pengembangan pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah senantiasa memberikan motivasi lebih terhadap siswa.
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa siswa kelas Mata Pelajaran Bahasa Arab MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan dituntut  memiliki kemampuan yang lebih dalam hal kompetensi penguasaan Bahasa Arab. Kondisi ini menjadikan mereka merasa sulit dalam mendalami mata pelajaran bahasa Arab dan berasumsi bahwa bahasa Arab adalah pelajaran yang menakutkan sehingga meraka kurang termotivasi dalam menerima materi bahkan cepat merasa jenuh yang pada akhirnya mereka menjadi siswa pasif. Kondisi ini ditambah dengan keharusan siswa menguasai berbagai macam jenis qawaid yang salah satunya adalah qawaid sharfiyah
Keharusan menguasai kompetensi qawaid sharfiyah ini memberatkan siswa yang sebelumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan Madrasah.
Motivasi lain muncul karena adanya reward yang diberikan pada siswa yang mencapai target tertentu dalam pembelajara.n qawaid sharraf  yaitu mendapatkan hadiah tertentu. Jadi siswa terdorong untuk menguasai qawaid sharraf bukan karena merasa butuh pada materi itu, melainkan karena terdorong untuk mendapatkan hadiah yang disiapkan Madrasah.
Keterangan tersebut mengindikasikan adanya motivasi intrinsik yang dimiliki oleh siswa. Mereka belajar Bahasa Arab bukan marena model pembelajaran yang variatif serta media yang digunakan bagus, melainkan karena rasa ingin tahu yang ada dalam diri mereka sendiri. Dalam hal ini, siswa yang memiliki motivasi intrinsik memiliki tujuan menguasai suatu bidang tertentu, sehingga dia terdorong untuk melakukan apapun untuk mencapai tujuannya agar supaya apa yang diinginkan dapat terwujud secara maksimal.
2.    Pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah senantiasa meningkatkan minat belajar siswa dalam menguasai bentuk kata kerja dalam mufrodat.
Sebagian siswa kelas Mata Pelajaran Bahasa Arab ada yang belum pernah belajar bahasa Arab pada jenjang sebelumnya, tapi ada juga beberapa siswa yang sudah pernah belajar bahasa Arab. Mereka itu adalah siswa atau siswi lulusan Madrasah Ibtida’iyah (MI) atau yang pernah mengenyam pendidikan Madrasah Diniyah, belajar bahasa Arab dengan model konvensional yang hanya terpaku pada buku atau kitab yang dipakai dengan menekankan pada materi qawaid semata tanpa adanya pengembangan pembelajaran bahasa Arab melalui model yang inovatif, sehingga minat yang seharusnya meningkat dalam setiap jenjangnya, menjadi stagnan atau bahkan cenderung menurun.
Di kelas Mata Pelajaran Bahasa Arab MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan, siswa yang sebelumnya belum memiliki potensi dan hanya bermodalkan motivasi paksaan, akhirnya mulai memiliki minat yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun untuk belajar bahasa Arab.
3.    Pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah dapat mengembangkan bakat belajar siswa dalam pembelajaran bahasa Arab di kelas, luar kelas dan di luar madrasah.
Salah satu kelebihan Kelas Mata Pelajaran Bahasa Arab MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan adalah memaksimalkan kompetensi bidang studi agama termasuk didalamnya adalah bahasa Arab. Karena tuntutan kualitas itu, maka pihak madrasah memiliki kewajiban untuk senantiasa meningkatkan dan mengembangkan bakat dasar yang dimiliki oleh siswa tersebut supaya kemampuan dasar yang dimiliki sebelumnya dapat dikembangkan secara maksimal sesuai dengan standar kompetensi lulusan MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan. Hal yang dilakukan oleh lembaga adalah menyiapkan guru, sarana dan prasarana yang menunjang terhadap berkembangkan minat dasar yang dimiliki oleh siswa khususnya dalam materi bahasa Arab.
Secara eksplisit, kemampuan siswa di dalam kelas menjadi cukup baik dan lebih mudah dalam memahami materi Bahasa Arab. Hal ini dikarenakan adanya upaya pengembangan model pembelajaran yang tidak hanya berkutat pada satu sisi, melainkan senantiaa mencoba yang baru dan mempertahankan yang sudah efektif. Pada akhirnya bakat dan minat siswa muncul dengan sendirinya tanpa harus ada paksaan dari guru maupun orang tua.
Minat dan bakat siswa kelas Mata Pelajaran Bahasa Arab MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan juga terlihat di luar kelas dimana mereka menunjukkan keberanian untuk berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Arab sederhana dan bangga melakukan proses mekanisme aplikasi media dan berbagai macam kata kerja.
Di samping itu, siswa kelas Bahasa Arab MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan juga mengaktualisasikan bakat dan minatnya dengan memberikan pembelajaran pada siswa yang lain dengan cara berkelompok maupun privat yang masih bersifat ringan.
Dalam hal ini, minat dan bakat siswa tidak hanya teraktualisasi di lingkungan Madrasah, melainkan sebagian dari mereka sudah mampu untuk membantu menjelaskan materi pada teman-temannya yang lain. Kebiasaan ini akan lebih terstruktur ketika difasilitasi dengan diresmikannya “Kampung Pendidikan” di MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan yang point utamanya adalah memberdayakan kemampuan siswa dalam berbagai macam rumpun pelajaran termasuk dalam pembelajaran Bahasa Arab yang nantinya akan memakai siswa dan siswa Bahasa Arab untuk membentuk “Kampung Pendidikan” di sekitar Madrasah.
4.    Pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah sebagai titik tolak pengembangan Bahasa Arab
Pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah merupakan salah satu upaya untuk memberikan pembelajaran Bahasa Arab yang bersifat intensif dan mendalam pada siswa karena pada hakikatnya model serta mekanisme yang diterapkan mengarah pada hal tersebut. Oleh karenanya, pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah ini berorientasi pada pendalaman dan optimalisasi kompetensi kebahasaan siswa yang meliputi istima’, kalam, qiro’ah dan kitabah.
Berdasarkan keterangan tersebut, dapat dikatakan bahwa siswa kelas Bahasa Arab MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan mendapatkan pengalaman yang cukup bagus yaitu penguasaan kaidah bahasa melalui pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah dengan seluruh rangkaian mekanismenya. Indikasi yang cukup jelas dapat dilihat dari perkembangan kemampuan siswa baik kemampuan qawaid sharrafnya dan kecakapan dalam berbicara (maharatul kalam).




G.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Model Pembelajaran Qawaid Sharraf dengan Pendekatan Qiyasiyah di MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa upaya pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah ini harus dilakukan dengan perencanaan dan proses yang profesional. Sehingga ada beberapa komponen yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya upaya ini, diantaranya adalah
1.         Manajemen madrasah
MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan adalah salah satu madrasah yang senantiasa melakukan perbaikan dan pengembangan dalam berbagai bidang tidak terkecuali dalam masalah kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam hal ini, Kepala Madrasan dan steakholder senantiasa memberikan dukungan yang luar biasa pada setiap program yang berjalan. Salah satunya dalam pengembangan model Faktor- Faktor apa yang mempengaruhi pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah. Realitas ini dibuktikan dengan peran kepala madrasah yang melakukan rancangan untuk mengembangan pembelajaran Bahasa Arab melalui pembentukan kelas Bahasa Arab yang berorientasi pada pengembangan Bahasa Arab secara intensif. Oleh karenanya, mulai dari struktur kurikulum yang digunakan dan guru yang akan berperan aktif di dalamnya dirancang dengan matang. Begitu pula dalam kaitannya dengan kebutuhan sarana dan prasarana yang dibutuhkan senantiasa dipenuhi dan dianggarkan.
2.         Input siswa
Merupakan keniscayaan bahwa kualitas siswa yang dididik dan dikembangkan berpengaruh terhadap hasil yang akan dicapai. Oleh karenanya, MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan melakukan penerapan mekanisme khusus dalam rekrutmen siswa yang akan masuk pada kelas Bahasa Arab. Mekanisme ini terdiri dari dua tahap, yaitu tes kemampuan dasar untuk mengukur kemampuan yang dimiliki sebelumnya dan yang kedua adalah menjaring minat dari siswa dengan cara memberikan beberapa pilihan kelas, wakil kepala madrasah bagian kurikulum akan menentukan kelas siswa berdasarkan pilihannya dan kemampuan yang dimiliki sebelumnya.
3.         Kompetensi guru
Guru merupakan komponen utama yang akan menentukan proses pembelajaran yang berkualitas. Dalam hal ini, guru Bahasa Arab yang akan mengampu di kelas Bahasa Arab harus memiliki kompetensi yang baik. Salah satu kompetensi yang menjadi ukuran adalah riwayat pendidikan yang pernah dilalui. Misalnya guru yang bersangkutan adalah sarjana Bahasa Arab, pernah mengenyam pendidikan pesantren atau lembaga kursus dan memiliki pengalaman mengelola lembaga pengembangan Bahasa Arab.

H.   Analisis
Dalam penguasaan keterampilan berbahasa tersebut, terdapat empat keterampilan yang dimiliki oleh siswa, yaitu keterampilan mendengar (maharah al-istima’), keterampilan berbicara (maharah al-kalam), keterampilan membaca (maharah al-qira’ah) dan keterampilan menulis (maharah al-kitabah). Tingkat kemampuan itu mencakup performative[23], functional, informational, dan epistemic. Pada tingkat performative, orang mampu membaca (fahm maqru’), menulis (kafa’ah al-kitabah), mendengarkan (fahm al-masmu’), dan berbicara dengan simbol-simbol (al-kalam bi ramuz al-shauti) yang digunakan. Pada tingkat functional, orang mampu menggunakan bahasa Arab untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari[24] seperti membaca surat kabar (qiro’ah al-jaridah), manual atau petunjuk. Pada tingkat informational[25], orang mampu mengakses pengetahuan dengan kemampuan berbahasa, sedangkan pada tingkat epistemic[26] orang mampu mengungkapkan pengetahuan ke dalam bahasa sasaran.

1.       Pengembangan Model Pembelajaran Qawaid Sharraf dengan Pendekatan Qiyasiyah
Menurut Syaiful Mustofa, thariqah qiyasi adalah thariqah yang diadopsi dari thariqah terdahulu yang meliputi tiga langkah pengaplikasiannya, yaitu (1) guru mempermudah pembelajaran qawaid dengan menyebutkan kaidah-kaidah atau ta’rif dari unsur yang umum pada yang khusus, (2) memberikan sebagian contoh, (2) memberikan latihan untuk mengukur tingkat pemahaman siswa terhadap qawaid yang sudah dijelaskan.
Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya model pembelajaran dengan menggunakan pendekatan qiyasi merupakan model pembelajaran yang mengaplikasikan teori yang bersifat umum menuju teori yang bersifat khusus yang dikenal dengan istilah “juz’iyah” dengan menggunakan beberapa contoh dan latihan yang dijadikan sebagai tolok ukur kemampuan siswa dalam menyerap materi qawaid.
Kelas Mata Pelajaran Bahasa Arab merupakan kelas prioritas materi keagamaan dan Bahasa Arab di MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan. Dalam pembelajarannya, kurikulum yang digunakan juga mengacu pada penekanan-penekanan terutama pada materi Bahasa Arab. Kondisi ini memberikan peluang besar pada diterapkannya berbagai macam model pembelajaran yang inovatif. Oleh karenanya, pembelajaran Bahasa Arab khususnya pembelajaran qawaid pada kelas ini dilakukan upaya pengembangan yaitu dengan Pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah yang pada intinya berorientasi pada penguasaan kaidah kebahasaan.
Sharraf merupakan materi gramatika yang membicarakan perubahan bentuk kata kerja (misalnya: past, present, perintah perubahan kata kerja ke kata benda turunan dan penyesuaiannya dengan pelaku). Jadi ilmu sharraf ini hampir sama dengan morfologi atau ilmu bentuk kata.
Menurut Fathul Mujib, ada beberapa problem obyek material dan formal dalam kaitannya dengan kegagalan pembelajaran gramatika, yaitu:[27]
a.       Problematika faktor linguistik dan nonlinguistik, baik dalam bentuk perbedaan kata, pola kalimat, jenis kata, jabatan kalimat, arti dan bunyi.
b.      Guru menitik beratkan pada kaidah gramatika untuk menghafal dan memahami isi bacaan yang diajarkan dalam bentuk lagu atau musik tertentu.
c.       Pembelajaran tidak memasuki wilayah substansif dengan tidak menghiraukan implikasi makna yang menyertainya serta tidak memperhatikan konsekuensi makna yang terdapat dalam masing-masing pola.
d.      Pola hubungan guru dan siswa cenderung kaku seperti tuan dan majikan, guru hanya menyajikan contoh kemudian siswa diminta untuk membuat contoh serupa tanpa mengetahui kekuatan dan kelemahan siswa dalam pembelajaran.
e.       Buku ajar terkadang tidak sesuai dengan kemampuan siswa.
f.        Pembelajaran gramatika tidak disandingkan dengan disiplin ilmu lain.
MTs Negeri Sumber Bungur mengupayakan kegagalan tersebut tidak terjadi dengan cara mengembangkan model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah dengan segala mekanismenya. Misalnya:
1.      Melakukan inovasi kurikulum dengan menentukan target dan penambahan alokasi waktu.
2.      Menyiapkan mental guru dan siswa dengan manajemen uji kompetensi. Guru harus memiliki riwayat pendidikan yang linier, memiliki pengalaman mengelola lembaga kebahasaan dan pernah belajar di pesantren. Sedangkan siswa harus melalui dua tahapan diantaranya adalah uji kompetensi kemampuan Bahasa Arab dasar dan penentuan kecenderungan untuk memilih kelas dari siswa sendiri.
3.      Menyajikan materi dengan berbagai macam model diantaranya mengubah wazan sesuai dengan bina’, penyajian ini berbeda dengan mayoritas kitab sharraf pada umumnya.
4.      Memberikan evaluasi untuk mengkaji kemampuan dan kelemahan siswa agar supaya mendapatkan solusi yang efektif.
5.      Senantiasa melakukan upaya pemberian motivasi baik dari sisi model pembelajaran yang digunakan maupun reward yang diberikan pada siswa yang mencapai target yang sudah ditentukan.
Berdasar pada konsep yang diterapkan di MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan, dapat disimpulkan bahwa terdapat komparasi model yang dikembangkan yaitu model deduktif, induktif dan drill (latihan). Bahkan melebihi teori yang ditawarkan Saiful Mustofa[28] yang hanya menekankan pada proses deduktif, karena di MTs Negeri Sumber Bungur terdapat beberapa hal yang disiapkan untuk meminimalisir kegagalan dalam pembelajaran qawaid, misalnya rancangan kurikulum melalui muatan materi dan alokasi waktu serta motivasi yang diberikan pada siswa yang secara konsisten dilakukan oleh manajemen madrasah.
Berdasarkan penjelasan di atas, model pembelajaran yang digunakan pada Kelas Mata Pelajaran Bahasa Arab di MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan masuk pada kategori student center method (al-Thariqah al-Ittishaliyah-al-Intiqaiyah). Metode ini memiliki beberapa karakter, diantaranya adalah mengembangkan kompetensi siswa secara utuh dalam konteks komunikasi yang sesungguhnya. Kedua, siswa memiliki peran aktif sebagai komunikator sedangkan guru sebagai fasilitator yang merancang konsepnya.[29]

2.      Respon Siswa Terhadap Pengembangan Pengembangan Model Pembelajaran Qawaid Sharraf dengan Pendekatan Qiyasiyah
Dalam menjalankan fungsinya sebagai seorang motivator, guru senantiasa beusaha untuk membangkitkan gairah belajar anak didik. Menurut Saiful Bahri Djamarah, ada enam hal yang dapat dikerjakan oleh guru, yaitu:[30]
a.       Membangkitkan dorongan pada anak didik untuk belajar;
b.      Menjelaskan secara konkrit kepada anak didik apa yang apa yang dapat dilakukan pada akhir pengajaran;
c.       Memberikan ganjaran terhadap prestasi yang dicapai anak didik sehingga dapat merangsang untuk mendapat prestasi yang lebih baik di kemudian hari;
d.      Membentuk kebiasaan belajar yang baik;
e.       Membantu kesulitan belajar anak didik secara individual maupun kelompok;
f.        Menggunakan metode yang bervariasi.
Seiring dengan dinamika dan kemajuan abad informasi dan globalisasi dewasa ini, nampaknya sudah saatnya seorang guru berupaya mengikis atau bahkan menghilangkan kesan umum bahwa mempelajari bahasa Arab itu sulit. Bersamaan dengan itu, perlu juga ditambahkan kesadaran bersama bahwa mengerti dan menguasai bahasa Arab itu tidak hanya penting untuk menopang pemahaman seseorang terhadap ajaran Islam, melainkan penting juga untuk didayagunakan dalam berbagai bidang kehidupan. Mengubah atau memperbaharui “motivasi kesadaran” peserta didik agar cinta bahasa Arab memang bukan pekerjaan mudah oleh karena itu, diperlukan pendekatan edukatif.
Pendekatan ini bisa diakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan dengan cara bahwa setiap pengajar bahasa Arab hendaknya mampu menumbuhkan motivasi, minat dan bakat serta menanamkan kesadaran akan pentingnya menguasai bahasa Arab baik lisan maupun tulis. Tentu terlebih dahulu para guru bahasa Arab membekali dirinya dengan kemampuan berbahasa Arab dan menguasai metode dan teknik mengajarkannya dengan menggunakan media pembelajaran serta faktor sarana dan prasana juga harus diupayakan untuk lebih mendukung. Dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Arab, nampaknya kita perlu membenahi kembali sistem pembelajaran bahasa Arab di madrasah.
Berbicara pendekatan edukatif tidak terlepas dari pelaksanaan proses pembelajaran yang dilaksanakan di lembaga pendidikan, baik pendidikan formal, non formal maupun informal, dimana di dalamnya terdapat unsur input pembelajaran, proses dan output. Terkait dengan faktor input tentunya siswa itu sendiri, sedangkan yang terkait dengan unsur proses, setidak-tidaknya terdiri dari faktor pendidikan sebagaimana disebutkan diatas, yakni faktor kurikulumnya sendiri harus memadai (mencakup keseluruhan dari unsur pembelajaran bahasa Arab dengan tujuan dan orientasi yang berbasis kompetensi), yang didukung oleh sarana dan prasana yang memadai, SDM atau guru yang profesional, alokasi waktu yang memadai serta aplikasi metodologi pembelajaran yang mutahir.
Berdasarkan penjelasan di atas, signifikansi pengembangan model pembelajaran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam rangka menumbuhkan motivasi, minat dan bakat siswa dalam pembelajaran bahasa Arab.
Pada Kelas Mata Pelajaran Bahasa Arab di MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan, pengembangan model pembelajaran dengan pendekatan qiyasiyah menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dalam menumbuhkan motivasi, minat dan bakat siswa. Hal ini tentunya jika didukung oleh guru dan media pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik.
Diantara respon yang diberikan siswa kaitannya dengan pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah adalah:
a.    Model pembelajaran dengan pendekatan qiyasiyah yang diaplikasikan di MTs Negeri Sumber Bungur dengan segala mekanismenya, dapat memberikan motivasi lebih terhadap siswa yang dapat dibuktikan dengan perubahan mind set siswa yang sebelumnya menganggap Bahasa Arab itu sulit terutama dalam qawaidnya, menjadi mudah dipaham dengan mengikuti model qiyasiyah ini dengan menggunakan bahan ajar sendiri yang diberi nama al-Miftah fi talkhisi ‘ilmi al-sharfi.
b.    Meningkatkan minat belajar siswa dalam menguasai bentuk kata kerja dalam mufrodat sehingga diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari utamanya di lingkungan madrasah.
c.    Mengembangkan bakat belajar siswa dalam pembelajaran bahasa Arab di kelas, luar kelas dan di luar madrasah. Dalam hal ini siswa tanpa adanya tekanan dan selalu merasa percaya diri membantu kesulitan temannya yang lain (di luar kelas Bahasa Arab).
d.    Pengembangan model pembelajaran dengan pendekatan qiyasiyah ini merupakan itik tolak pengembangan Bahasa Arab menuju pada optimalisasi penguasaan kompetensi kebahasaan yang meliputi istima’, kalam, qira’ah dan kitabah.
Perkembangan dan peningkatan motivasi, minat dan bakat tergambar dalam model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah yang didayagunakan secara proporsional dan profesional oleh guru bidang studi bahasa Arab kelas Mata Pelajaran Bahasa Arab MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan sehingga hasil atau out put yang dihasilkan sesuai dengan harapan dan target yang tertuang dalam strandar kompetensi lulusan madrasah. Realitas ini dapat dibuktikan dengan adanya respon positif dan optimal dari siswa kelas Mata Pelajaran Bahasa Arab MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan.
Secara teoritis, proses pembelajaran adalah kegiatan kamunikasi yang melibatkan banyak unsur. Menurut Ahmad Salim, proses pembelajaran adalah kegiatan komunikasi yang melibatkan 4 unsur, yaitu:[31] komunikator, komunikan, pesan dan media. Komunikator adalah unsur pemberi pesan yang dalam hal ini adalah guru. Komunikan adalah unsur pemberi pesan yang dalam hal ini adalah para siswa. Pesan adalah bahan yang diberikan dan media adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan itu.
Pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah menjadi efektif jika model pembelajaran tersebut dapat menjelaskan apa yang akan disampaikan kepada siswa secara tepat dan berhasil guna dengan mempertimbangkan aspek efektifitas dan efisiensi (sederhana dan menarik). Penggunaan model pembelajaran ini secara optimal sudah dilaksanakan dan dimanfaatkan oleh guru pengajar bahasa Arab pada kelas Mata Pelajaran Bahasa Arab di MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan sehingga siswa termotivasi untuk mengembangkan bakat dan minatnya dalam mendalami bahasa Arab pada semua maharah (istima’, kalam, qiro’ah dan kitabah). Kendatipun fakus utamanya ada pada dimensi penguasaan qawaid lughawiyah.

3.      Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Model Pembelajaran Qawaid Sharraf dengan Pendekatan Qiyasiyah di MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan
Secara teroritis, terdapat empat faktor yang mempengaruhi pengembangan proses pembelajaran, yaitu guru,[32] siswa, sarana dan lingkungan.[33] Terkait dengan fungsi guru ini, Piet A. Sahertian memberikan 3 (tiga) klasifikasi, yaitu:[34] tugas personal, tugas sosial dan tugas profesional. Pertama adalah tugas personal, yaitu tugas guru yang bersifat pribadi, artinya bahwa seorang guru harus menatap dirinya sendiri dan memahami konsep dirinya. Guru itu digugu dan ditiru. Menurut P. Wiggens dalam bukunya yang berjudul "Student Teacher in Action" mengatakan bahwa seorang guru harus mampu berkaca pada dirinya sehingga ia akan melihat tiga pribadi, yaitu: Saya dengan konsep diri saya (self concept) Saya dengan ide diri saya (self idea) Saya dengan realitas diri saya (self reality). Kedua, tugas sosial yang berarti bahwa misi yang diemban guru adalah misi kemanusiaan. Mengajar dan mendidik adalah tugas pemanusiaan manusia. Guru punya tugas sosial, guru adalah seorang penceramah zaman.[35] Bahkan menurut Soekarno, mengartikan tugas guru sebagai abdi masyarakat. Oleh karenanya, guru lebih bersifat memberikan pelayanan kepada manusia (gogos humaniora). Ketiga, tugas profesional yaitu guru melakukan atau melaksanakan peran profesi (profesional role). Sebagai peran profesi, guru memiliki kualifikasi profesional, seperti yang dikemukakan Marion Edmon. Kualifikasi profesional itu antara lain adalah menguasai pengetahuan yang diharapkan sehingga ia dapat memberikan sejumlah pengetahuan kepada siswa dengan hasil yang maksimal.[36]
Berdasarkan keterangan di atas, guru bukan hanya berperan sebagai pendidik, akan tetapi juga menjadi media belajar dan semua yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Sebagaimana dijelaskan oleh, E. Mulyasa bahwa terdapat 19 peran guru, di antaranya adalah:[37] guru sebagai pendidik,[38] pengajar,[39] pembimbing,[40] pelatih,[41] penasehat,[42] pembaharu (innovator),[43] model dan teladan,[44] pribadi,[45] peneliti,[46] pendorong kreativitas,[47] pembangkit pandangan,[48] pekerja rutin,[49] pemindah kemah,[50] pembawa ceritera,[51] aktor,[52] emansipator,[53] evaluator, pengawet,[54] dan sebagai kulminator.[55]
Demikian halnya dengan siswa yang merupakan organisme yang unik yang berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya. Sehingga mereka juga memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam proses pengembangan model pembelajaran karena mereka memiliki beberapa perbedaan yang tidak dapat dinafikan, misalnya perbedaan jenis kelamin, sosial ekonomi, pengetahuan, dan sikap.
Oleh karenanya, ada tiga faktor yang mempengaruhi pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah di MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan, yaitu: manajemen madrasah, input siswa dan kompetensi guru.
a.       Manajemen madrasah
Manajemen madrasah adalah faktor utama yang mempengaruhi berhasil tidaknya pengembangan model pembelajaran karena ini adalah titik tolak yang menjadi pondasi terbentuk dan terlaksana semua tahapan pembelajaran yang akan digunakan. Apabila madrasah dan segala kebijakan yang dimilikinya tidak mendukung terlaksana upaya pengembangan, maka kekuatan sumber daya manusia baik dari guru maupun siswa tidak akan pernah teraktualisasi dengan maksimal. Guru dan murid tidak akan pernah mampu melakukan sesuatu yang hanya dapat dilakukan oleh madrasah. Misalnya kebijakan penyususnan materi yang akan dijadikan standar acuan, alokasi waktu yang dapat digunakan serta sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menunjang keberlangsungan proses pengembangan pembelajaran yang dalam hal ini adalah model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah. Oleh karenanya, MTs Sumber Bungur Pamekasan membuat muatan materi khusus dalam struktur kurikulum kelas Bahasa Arab dan mengalokasikan waktu yang cukup untuk mengembangkan potensi siswa dalam proses pengembangan pembelajarannya.
b.      Input Siswa
Siswa adalah komponen kedua yang mempengaruhi proses pengembangan pembelajaran karena secara teoritis akan ada keserasian antara input dan in take siswa. Siswa yang tidak memiliki minat terhadap suatu mata pelajaran tertentu, pasti lebih lambat perkembangannya daripada siswa yang sejak dari awal memang sudah memiliki minat. Begitu pula dengan kemampuan awal siswa akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan pembelajaran karena siswa membutuhkan modal kompetensi yang dapat dijadikan sebagai materi untuk dikembangkan. Oleh karenanya, MTs Negeri Sumber Bungur Pamekasan menetapkan dua syarat utama siswa yang akan dikembangkan potensi Bahasa Arabnya, yaitu memiliki kemampuan dasar dan memiliki minat untuk berkembang.
c.       Kompetensi guru
Kompetensi guru juga menjadi kemutlakan dalam rentetan proses pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah ini. Karena guru tidak hanya diharuskan menguasai materi dengan baik, Akan tetapi harus melakukan inovasi dalam strategi pembelajaran baik pada ranah standar isi, standar proses maupun dalam evaluasi yang berorientasi pada proses edukasi yang efektif, efisien dan terarah.



A.     Kesimpulan
  1. Pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah terdiri dari empat model pembelajaran yang diaplikasikan secara intensif dan efektif untuk mendapatkan kualitas pembelajaran yang baik. Pertama, model pemahaman materi diberikan dengan cara guru memberikan dasar materi yang akan disajikan berdasar pada Kompetensi dasar dan indikator pembelajaran, seperti macam-macam bina’, sighat, wazan dan tashrif fi’il tsulatsi dan ruba’i baik yang mujarrod maupun yang mazid. Kedua, menghafalkan wazan dilakukan dengan cara guru memberikan contoh wazan fi’il madhi yang akan dipelajari berdasar pada thariqah tashrif bina’ shahih. Ketiga, mengaplikasikan varian wazan pada setiap huruf illat yang berbeda. Keempat, mengaplikasikan model-model tashrif pada lafadz dalam al-Qur’an.
  2. Respon siswa terhadap pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah tergolong positif dan optimal. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator berikut: (1) memberikan motivasi lebih terhadap siswa, (2) meningkatkan minat belajar siswa dalam menguasai bentuk kata kerja dalam mufrodat, (3) mengembangkan bakat belajar siswa dalam pembelajaran bahasa Arab di kelas, luar kelas dan di luar madrasah, dan (4) titik tolak pengembangan Bahasa Arab.
  3. Secara umum, faktor utama yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengembangan model pembelajaran qawaid sharraf dengan pendekatan qiyasiyah ini harus dilakukan dengan perencanaan dan proses yang profesional. Namun ada beberapa komponen yang menunjang upaya tersebut, diantaranya adalah: (1) Manajemen madrasah yang berkualitas, (2) Input siswa, (3) Kompetensi yang dimiliki guru.




DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi Akasara, 2002)

Ahmad, Muhammad Abdul Qadir, Thuruqu Ta’lim al-Lughah al-‘Arabiyah (Beirut: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1989)

Arsyad, Azhar, Madkhal ila Thuruqi Ta’lim al Lughah al Ajnabiyah li Mudarris al Lughah al ‘Arabiyah (Ujung Pandang: al Ahkam, 1998)

Ali, Muhammad, Guru dalam Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru Algesindo)

Darsono, Belajar dan Pembelajaran. (Semarang: IKIP Semarang Press, 2000)

Djamarah, Saiful Bahri, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002)

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990)

Fattah, Abdul, Musykilatul Lughah wa al-Takhatub fi Dhau’i al-“ilm al-Lughah al-Nafs (al-Qahirah: Dar al-Qubah, 2002)

Hamid, M. Abdul, Mengukur Kemampuan Bahasa Arab (Malang: UIN-Press, 2010)

Ibrahim, Abdul Halim, al-Muwajjah al-Fanni (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1968)

Khathir, Mahmud Rusydi, Thuruq Tadris al Lughah al ‘Arabiyah wa al Tarbiyah al Diniyah fi Dhaw’i al Ittihat al Taqbawiyah al Haditsah (Kairo: Dar al Ma’rifah, 1982)

Langeveld, MJ., Beknopte Theoretische Paedagogiek (Jakarta: Groningen, 1955)

al-Ma’luf, Louis, al Munjid fi al Lughah wa al A’lam (Baeirut: Dar al Masyriq, 1987)

Mustofa, Bisri, Metode dan Strategi Pembelajaran Bahsa Arab (Malang: UIN-Maliki Press, 2012)

Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984)

Madkur, Ali ,Ahmad Finun al-Lughah al-‘Arabiyah (Riyadh: Dar al-Sawwaf, 1991)

Mustofa, Syaiful, Strategi Pembelajaran Bahasa Arab Inovatif (Malang: UIN-Maliki Press, 2011)

Mujib, Fathul, Permainan Edukatif Pendukung Pembelajaran Bahasa Arab (Yogyakarta: Diva Press, 2012)

Mahmudi, Husein, Wasa’il al-Ittishal wa al-Tiknulujiya fi al-Ta’lim (Kuwait: Dar al-Qalam, 1996)

Mulyasa, E., Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007)

Muchtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2003)

Qosim, Mohammad, ed., Pondok Pesantren di Pamekasan; Pertumbuhan dan Perkembangannya (Pamekasan: P3M, 2002)

Rosyidi, Abd Wahab, Memahami Konsep Dasar Pembelajaran Bahasa Arab  (Malang: UIN Maliki Press, 2012)

Rasyidi, Mahmud, Thuruqu Tadrisi al-Lughah al-‘Arabiyah wa al-Tarbiyah al-Diniyah (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1982)

al-Rikabi, Judat, Thuruqu Tadrisi al-Lughah al-‘Arabiyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1996)

Sudjana, Nana, Penelitian Hasil Proses Belajar Mengajar. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001)

Sugandi, Achmad, Teori Pembelajaran. (Semarang: UPT MKK UNNES, 2004)

al Sayyid, Amin Ali, Fi ‘Ilmi al Nahwi (Kairo: Dar al Ma’arif, 1977)

Samman, Mahmud Ali, al Taujih fi Tadris al Lughah al ‘Arabiyah; Kitab al Mu’allim wa al Muwajjih wa al Bahits fi Thuruqi Tadris al Lughah al ‘Arabiyah (Kairo: Dar al Ma’arif, 1981)

al-Syayid, Mahmud Ahmad, Al-mujaz fi thuruq tadris al-lughah al-arabiyah, (dar al-‘audah : Berut, 1980)

Suparlan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa; dari Konsepsi sampai dengan Implementasi (Yogyakarta: Hikayat, 2004)

Sahertian, Piet A., Profil Pendidik Profesional (Yogyakarta: Andi Offset, 1994)

Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses (Jakarta: Kencana, 2006)

Hamzah B. Uno, Perencanaan Pembelajaran. (Jakarta: Bumi Aksara, 2006)

Zaenuddin, Radliyah, Metodologi dan Stretegi Alternatif (Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, 2005)

Zulhannan, Teknik Pembelajaran Bahasa Arab Interraktif (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014)




[1] Dalam proses pembelajaran, motivasi merupakan salah satu aspek dinamis yang sangat penting. Woodwort (1955: 337) mengatakan bahwa "A motive is a set predisposes the individual of certain activities and for seeking certain goals". Suatu motif adalah suatu set yang bisa membuat individu melakukan kegiatan-kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, perilaku atau tindakan yang ditunjukkan seseorang dalam upaya mencapai tujuan tertentu sangat tergantung dari motif yang dimilikinya. Hal ini diungkapkan oleh Arden (1957): "Motives as internal condition arouse sustain, direct and determine the intensity of learning effort, and also define the set satisfying or unsatisfying consequences of goal". Lihat: Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan, hlm. 27.
[2] Lihat: Azhar Arsyad, Madkhal ila Thuruqi Ta’lim al Lughah al Ajnabiyah li Mudarris al Lughah al ‘Arabiyah (Ujung Pandang: al Ahkam, 1998), hlm., 23.
[3] Radliyah Zaenuddin, Metodologi dan Stretegi Alternatif (Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, 2005), hlm., 33.
[4] Azhar Arsyad, Madkhal ila Thuruqi Ta’lim al Lughah al Ajnabiyah li Mudarris al Lughah al ‘Arabiyah (Ujung Pandang: al Ahkam, 1998), hlm., 23.
[5] Ibid.,hlm., 24.
[6] Ibid., hlm., 26.
[7] Ibid., hlm., 30.
[8] Ibid., hlm., 58.
[9] Abdul ‘Alim Ibrahim, al-Muwajjih al-Fanni li Mudarris al-Lughah al-Arabiyah (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1973), hlm., 78-81.
[10] Munawwi, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), hlm., 1224.
[11] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm., 376.
[12] Louis al-Ma’luf, al Munjid fi al Lughah wa al A’lam (Baeirut: Dar al Masyriq, 1987), hlm., 643.
[13] Al Syarif Ali Ibn Muhammad al Jurjani, Kitab al Ta’rifat (Jeddah: al Haramain, 1989), hlm., 171.
[14] Amin Ali al Sayyid, Fi ‘Ilmi al Nahwi (Kairo: Dar al Ma’arif, 1977), hlm., 14.
[15] Zulhannan, Teknik Pembelajaran Bahasa Arab Interraktif (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm., 112.
[16] Bisri Mustofa, Metode dan Strategi Pembelajaran Bahsa Arab (Malang: UIN-Maliki Press, 2012), hlm., 61.
[17] Radliyah Zaenuddin, Metodologi dan Strategi Alternatif Pembelajaran Bahasa Arab, hlm., 96.
[18] Ali Ahmad Madkur, Finun al-Lughah al-‘Arabiyah (Riyadh: Dar al-Sawwaf, 1991), hlm., 337-338.
[19] Mahmud Ali Samman, al Taujih fi Tadris al Lughah al ‘Arabiyah; Kitab al Mu’allim wa al Muwajjih wa al Bahits fi Thuruqi Tadris al Lughah al ‘Arabiyah (Kairo: Dar al Ma’arif, 1981), hlm., 98.
[20] Mahmud Rusydi Khathir, Thuruq Tadris al Lughah al ‘Arabiyah wa al Tarbiyah al Diniyah fi Dhaw’i al Ittihat al Taqbawiyah al Haditsah (Kairo: Dar al Ma’rifah, 1982), hlm., 215-216.
[21] Syaiful Mustofa, Strategi Pembelajaran Bahasa Arab Inovatif (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), hlm., 98.
[22] M. Abdul Hamid, Mengukur Kemampuan Bahasa Arab (Malang: UIN-Press, 2010), hlm., 67-68.
[23] Rusydi Ahmad Tha’imah,dkk, ibid, hal. 48
[24] Judat al-Rikabi, Thuruq tadris al-lughah al-arabiyah, (dar al-fikr al-mu’ashirah : Berut, 1996), hal. 9; baca: Mahmud Ahmad al-Syayid, Al-mujaz fi thuruq tadris al-lughah al-arabiyah, (dar al-‘audah : Berut, 1980), 11-12.
[25] Ali Ahmad Madkur, ibid, hal 35-36.
[26] Rusydi Ahmad Tha’imah,dkk, ibid, hal. 48
[27] Fathul Mujib, Permainan Edukatif Pendukung Pembelajaran Bahasa Arab (Yogyakarta: Diva Press, 2012), hlm. 162-164.
[28] Periksa strategi pembelajaran tarakib: Syaiful Mustofa, Strategi Pembelajaran Bahasa Arab Inovatif (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), hlm. 102-111.
[29] Abd. Wahab Rosyidi, Memahami Konsep Dasar Pembelajaran Bahasa Arab, hlm. 67-68.
[30] Saiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 166-167.
[31] Ahmad Salim, Mudzakarah al-Daurat al-Tarbawiyah, hlm. 1., dalam Acep Hermawan, Motodologi Pembelajaran Bahasa Arab, hlm. 224. Bandingkan dengan Ahmad Salim, Mudzakarah al-Daurat al-Tarbawiyah, hlm. 3. Bandingkan dengan: Husein Mahmudi, Wasa’il al-Ittishal wa al-Tiknulujiya fi al-Ta’lim (Kuwait: Dar al-Qalam, 1996), hlm. 44. Dalam hal ini Abdul Halim juga memberika penjelasan tentang cara menarik minat dan bakat siswa dengan pembelajaran yang menyenangkan. Lihat: Abdul ‘Alim Ibrahim, Al-Muwajjih al-Fanni li Mudarris al-Lughah al-‘Arabiyah, hlm. 432
[32] Secara etimologis, istilah guru berasal dari bahasa India yang artinya adalah orang yang mengajarkan tentang kelepasan dari sengsara.[32] Dalam bahasa Arab, guru dikenal dengan al-mu'allim dan al-usta>dh yang bertugas memberikan ilmu dalam majlis ta'li>m (tempat memperoleh ilmu). Dengan demikian, al-mu'allim dan al-usta>dh dalam hal ini juga memiliki pengertian sebagai orang yang bertugas membangun aspek spiritualitas manusia. Pengertian guru kemudian semakin luas, tidak hanya terbatas dalam kegiatan keilmuan yang bersifat kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) dan kecerdasan intelektual (intellectual intelligence), tetapi juga menyangkut kecerdasan kinestetik jasmaniah (bodily kinesthetic), seperti guru tari, guru olahraga, guru senam, dan guru musik. Semua kecerdasan itu pada hakikatnya juga menjadi bagian dari kecerdasan ganda (multiple intelligence) sebagaimana dijelaskan oleh pakar psikologi terkenal Howard Garedner.[32] Dengan demikian, guru dapat diartikan sebagai orang yang tugasnya terkait dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dalam semua aspeknya baik spiritual dan emosional, intelektual, fiskal, maupun aspek lainnya. Lihat: Suparlan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa; dari Konsepsi sampai dengan Implementasi (Yogyakarta: Hikayat, 2004), hlm. 36.
[33] Lihat: Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 50-55.
[34] Piet A. Sahertian, Profil Pendidik Profesional (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), hlm. 12.
[35] MJ. Langeveld, Beknopte Theoretische Paedagogiek (Jakarta: Groningen, 1955) sebagaimana dikutip oleh Piet A. Sahertian dalam Profil Pendidik Profesional, hlm. 13. Lihat juga: Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru Algesindo), hlm. 4-10.
[36] Ibid.
[37] E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), 37-65.
[38] Guru dalam hal ini diharapkan menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para peserta didik dan lingkungannya.
[39] Dalam hal ini, guru membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya, membentuk kompetensi, dan memahami materi standar yang dipelajari.
[40] Berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya, guru harus bertanggung jawab atas kelancaran proses pembelajaran, baik dari aspek fisik, mental, emosional, kreatifitas, moral dan spiritual.
[41] Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih.
[42] Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik, bahkan bagi orang tua meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasehati orang.
[43] Guru menerjemahkan pengalaman yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna bagi peserta didik.
[44] Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta didik dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru. Lihat juga: Muchtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 94.
[45] Sebagai individu yang berkecimpung dalam pendidikan, guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Tuntutan akan kepribadian sebagai pendidik kadang-kadang dirasakan lebih berat dibanding profesi lainnya.
[46] Pembelajaran merupakan seni, yang dalam pelaksanaannya memerlukan penyesuaian dengan kondisi lingkungan. Untuk itu diperlukan berbagai penelitian, yang di dalamnya melibatkan guru. Oleh karena itu, guru adalah seorang pencari atau peneliti.
[47] Kreativitas merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran, dan guru dituntut untuk mendemonstrasikan dan menunjukkan proses kreativitas tersebut. Kreativitas merupakan sesuatu yang bersifat universal dan merupakan ciri aspek dunia kehidupan. Kreativitas ditandai dengan adanya kegiatan menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan tidak dilakukan oleh seseorang atau adanya kecenderungan untuk menciptakan sesuatu.
[48] Dalam hal ini guru dituntut untuk memberikan dan memelihara pandangan tentang keagungan kepada peserta didiknya. Mengemban fungsi ini, guru harus terampil dalam berkomunikasi dengan peserta didik di segala umur, sehingga setiap langkah dari proses pendidikan yang dikelolanya dilaksanakan untuk menunjang fungsi ini.
[49] Guru bekerja dengan keterampilan dan kebiasaan tertentu, serta kegiatan rutin yang amat diperlukan dan seringkali memberatkan. Jika kegiatan tersebut tidak dikerjakan dengan baik, maka bisa mengurangi atau merusak keefektifan guru pada semua peranannya.
[50] Peran guru di sini adalah memindahkan dan membantu peserta didik meninggalkan hal lama menuju sesuatu yang baru yang bisa mereka alami.
[51] Di sini guru menggunakan suaranya untuk memperbaiki kehidupan melalui puisi dan berbagai cerita tentang manusia.
[52] Sebagai seorang aktor, guru harus melakukan apa yang ada dalam naskah yang telah disusun dengan mempertimbangkan pesan yang akan disampaikan kepada penonton.
[53] Dalam hal ini, guru harus bisa melihat sesuatu yang tersirat dan yang tersurat pada realitas peserta didik untuk mencari kemungkinan-kemungkinannya. Oleh karenanya, guru akan dianggap telah melakukan fungsinya sebagai emansipator, ketika peserta didik yang telah menilai dirinya sebagai pribadi yang tidak berharga, merasa dicampakkan orang lain atau selalu diuji dengan berbagai kesulitan sehingga hampir putus asa, dibangkitkan kembali menjadi pribadi yang percaya diri.
[54] Sebagai pengawet, guru harus berusaha mengawetkan pengetahuan yang telah dimiliki dalam pribadinya, dengan arti bahwa guru harus berusaha menguasai materi standar yang akan disajikan kepada peserta didik.
[55] Guru adalah orang yang mengarahkan proses belajar secara bertahap dari awal hingga akhir (kulminasi).

2 komentar:

  1. assalamuailkum...
    kalo saya mau menghubungi bapak kemana ya?
    ada yang ingin ditanyakan, kebetulan saya lagi penelitian tentang sharaf

    BalasHapus
  2. Boleh minta kontak nya? Ada yg mau saya tanyakan

    BalasHapus