PROLOG
Rasulullah
Muhammad saw adalah teladan yang baik (uswah hasanah) tidak ada duanya
bagi mereka yang mengharapkan ridha Allah swt dan percaya terhadap adanya hari
pembalasan, serta bagi manusia yang ulul albab yakni manusia yang selalu
berdzikir “mengingat Allah” pada saat berdiri, duduk maupun berbaring dan
selalu berpikir terhadap ciptaan Allah.
Keteladanan
Yang selalu kita dengar ditengah-tengah masyarakat saat ini adalah keteladanan agar menikah pada usia dimana Rasulullah menikah yakni pada usia 25
tahun, itu seolah-olah keteladanan yang harus dan wajib dipenuhi, padahal
keteladanan itu bukan hanya diartikan sekedar dan sebatas usia menikah
Rasululllah saja. Keteladanan itu hakikatnya segala sesuatu yang melekat pada
Rasulullah baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik “kalau kita pakai
istilah dalam pengembangan pembelajaran”.
Keteladan Kognitif ”ma’rofi” adalah kualitas pengetahuan,
pikiran dan hati Rasulullah yang luar biasa juga patut diteladani, yang dapat
melahirkan masyarakat berakhlaq dan berbudi luhur serta berlandaskan demokrasi
yang hakiki didunia ini, teori-teori yang saat itu tidak bisa dijangkau, tapi
saat ini terbukti teori-teori itu, artinya
Rasulullah dengan kemampuan kognisinya mampu memprediksi kejadian yang
belum terjadi berkat bantuan Allah SWT, semisal teori yang dikembangkan oleh
BF. Skiner
dengan teori “tabularasa”, BF. Skiner menyatakan bahwa manusia lahir
layaknya seperti kertas kosong, padahal jauh hari sebelum BF. Skiner lahir,
seorang Rasulullah sudah menyatakan lebih dahulu dengan bahasa yang cukup
jelas, kongkrit dan elegan yang menunjukkan bahwa kualitas Rasulullah dalam
mengolah pikiran sangat luar biasa, sebagaimana disebutkan “Kullu mauludin
yuladu ala fitratil islam fa abawahu wuhawwidanihi au yunashsiranihi au
yumajjisanihi” (setiap bayi yang dilahirkan adalah suci/tanpa dosa/kertas
kosong, maka kedua orang tua-lah yang dapat menyebabkan yahudi atau nasrani
atau majusi). Kata fa abawahu (kedua orang tua) kalau kita jabarkan
lebih luas dalam konteks ini ada tiga macam antara lain, pertama man
waladaka (orang yang melahirkan), kedua man zawwajaka (orang yang
mengawinkan/mertua), ketiga man ‘allamaka (orang yang mengajar/guru).
Artinya, tiga hal inilah yang sangat berpengaruh dan mempengaruhi terhadap pola
pikir, cara pandang, serta prilaku anak.
Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah adalah
sosok yang memiliki pengetahuan yang fantastis melampaui para sosiolog “yang
dianggap modern” yang marak dikembangkan di beberapa perguruan tinggi saat ini.
Keteladanan afektif “wijdani” yakni
keteladanan yang ditunjukkan oleh Rasulullah melalui sikap arif dan bijaksana
dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi dirinya maupun umatnya. Dalam
buku the legacy of islam David Santillana menulis ”Nabi mengutarakan
kata-kata yang mempesona dalam hubungan bertetangga: Berbaik budilah engkau
kepada tetanggamu, tariklah selubung dari mukamu, hindari pertengkaran,
perhatikan dia dengan rasa kasih sayang, jika dia berbuat jahat maafkanlah dia,
jika dia berbuat baik kepadamu ucapkanlah terima kasih kepadanya.” Hal ini juga
Nampak dan tergambar dalam al-qur’an sikap Rasulullah dalam menyelesaikan
masalah sebagaimana termaktub dalam
surat Ali Imron ayat 159 “maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu (1) maafkanlah
mereka. (2) Mohonkanlah ampun bagi mereka. Dan (3) bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu (urusan peperangan dan hal-hal duniawiah lainnya, seperti
urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lain). Kemudian apabila kamu
telah membualatkan tekad, maka (4) bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
Ayat ini menunjukkan bahwa dalam menyikapi
semua persoalan baik itu persoalan agama, social, ekonomi, maupun politik,
Rasulullah mengacu pada ayat ini dalam melangkah dan menyelesaikan masalah
dengan cara pertama memaafkan orang yang bersengketa, kedua memintakan ampun orang yang bersengkata kepada
Allah, ketiga bermusyawarah dengan orang yang bersengketa, keempat berserah diri kepada Allah apapun hasil
keputusan sengketanya. Jika urutan dalam menyelasaikan masalah ini diikuti
sesuai dengan rangkaian ayat ini, maka tidak ada dendam diantara orang yang
bersengketa karena sudah didasari oleh rasa saling memaafkan dan memintakan
ampun sebelum melakukan musyawarah.
Inilah keteladanan afektif “wijdani”
Rasulullah dalam menyikapi dan menyelesaikan sengketa diantara sesama.
Berbeda dengan kita saat ini, yang lebih suka
menyelesaikan sengketa, langsung dengan musyawarah mengabaikan urutan dalam
surat ali imron 159, sehingga hasilnya masalah akan terselesaikan dengan tetap
ada dendam diantara para pesengketa, karena tidak dilandasi oleh rasa saling
memaafkan dan memintakan ampun antara mereka.
Keteladanan psikomotorik “nafs haroki” ini adalah
keteladanan Rasulullah dalam berprilaku dan berbudi pekerti, bagimana seorang
Rasulullah memberikan teladan atau memberikan contoh kepada umatnya dengan cara
berdiri lama ketika melakukan sholat dimalam hari sehingga kakinya bengkak,
menghabiskan waktu malam dengan sholat dan dzikir. Padahal sudah jelas
Rasulullah adalah ma’sum (dihapus dosa-dosanya).
Hal lain yang tergambar dalam prilaku
Rasulullah yang luar biasa terhadap non muslim sebagaimana diuraikan dalam
hadits “ man adza dzimmiyan faqad adzani”, (barang siapa yang menyatiki kafir
dzimmi “yang toleran” sama saja dengan menyakiti saya), hadits ini menunjukkan
bahwa persamaan hak antar sesama manusia juga patut diteladani oleh umat
muhamad. Kata dzimmi “toleran” menunjukkan bahwa toleransi antar umat beragama
harus dijunjung tinggi baik dalam hal hubungan ekonomi, sosial maupun politik.
Hakikat peranyaan maulid
Peringatan
maulid Nabi Muhammad Saw., merupakan momen penting untuk membangkitkan memori
keteladanan Rasul. ”Nama peringatan itu sebenarnya memiliki arti tegas, yaitu
untuk memperingatkan dan mengingatkan kita”. Di dalamnya biasanya ada ceramah dan pencerahan yang bisa menambah wawasan keilmuan dan membuka memori keteladanan terhadap Rasulullah. Oleh sebab itu,
sejarah Rasul (diba’ atau barzjanji) dibacakan di seantero negeri ini. Tetapi sayangnya hanya
dibaca sebagai wiridan, tanpa harus mengetahui makna sejarah yang diterkandung dan
terselubung didalamnya, mengapa diba’ atau berzanji yang dibaca,
kenapa tidak baca sholawat yang lain???. Memang tidak ada yang salah jika hanya
dengan membaca diba’ atau berzanji, tapi seyogyanya bisa diuraikan,
dijelaskan dan dipahamkan makna dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya,
sehingga berimplikasi positif pada perubahan prilaku, pola pikiran, cara pandang
maupun pengetahuan masyarakat yang merayakan. Bukan berarti peringatan maulid
Nabi selesai digelar, maka selesai pulalah tradisi, dan tidak berdampak apa-apa, semoga tidak begitu.
Tradisi
Maulid Nabi Muhammad SAW bermula pada masa pemerintahan Bani Taimiyah, kemudian
dilanjutkan pada masa pemerintahan Khalifah Bani Abbas oleh penguasa Al
Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) Sultan Salahuddin Al Ayyubi
(Soultan Saladin). Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H
pada Dinasti Bani Ayyub, setingkat Gubernur dengan pusat kesultanannya berada
di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir
sampai Suriah dan Semenanjung Arabia.
Perintah
merayakan Maulid ini disampaikan pertama kali pada musim Haji 579 H (1183
Masehi). Sebagai penguasa dua tanah suci kala itu, atas persetujuan Khalifah
Bani Abbas di Baghdad, Sultan mengimbau agar seluruh jamaah haji seluruh dunia
jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada
masyarakat Islam dimana saja berada. Maksud Sultan Salahuddin merayakan tradisi
ini selain bentuk cintanya pada Rasul juga sebagai cara membangkitkan semangat
juang umat Islam yang kala itu kehilangan semangat juang dan persaudaraan
ukhuwah ketika terjadi perang salib. Salahuddin ditentang oleh para ulama.
Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari
raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Akan tetapi
Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan
yang menyemarakkan syiar agama, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang
terlarang. Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan
Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan
sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa
yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti
kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far
Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang
sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.
Penyair
Ahmad Syauqi menggambarkan kelahiran Nabi Mulia itu dalam syairnya yang indah: “Telah dilahirkan seorang Nabi, alam pun bercahaya, sang waktu pun
tersenyum dan memuji”.
Cinta Rasulullah Butuh Bukti
Cinta bukanlah hanya diungkapkan semata, semua
cinta butuh bukti bukan janji dan bukan retorika. Di antara bentuk cinta pada Rasulullah
adalah ittiba’ (mengikuti, meneladani), taat dan berpegang teguh pada
petunjuk-Nya serta meneladani segala tindak tanduk Rasulullah baik kognitif,
afektif maupun psikomotorik-Nya. Karena hal itu merupakan buah dari kata cinta.
Artinya cinta tidak cukup dengan hanya sekedar memperingati tetapi harus
berdampak positif pada perubahan pola pikir “uswah ma’rofi”, perubahan
sikap “uswah wijdani” dan perubahan prilaku “ uswah nafs haroki”.
Itu makna yang sebenarnya memperingati maulid nabi Muhammad. Jika setelah
perayaan tanpa ada perubahan, maka itu bukan CINTA Rasulullah tetapi tradisi
yang perlu ditinjau ulang.
Penyair Arab mengatakan: Sekiranya cintamu
itu benar niscaya engkau akan mentaatinya Karena orang yang mencintai tentu
akan mentaati orang yang dicintainya. Cinta pada Rasulullah bukanlah
dengan melatunkan nasyid ataupun sya’ir yang indah saja, namun tidak mengikuti sunnah Rasulullah. Hakikat cinta pada Rasulullah adalah dengan mengikuti (ittiba’)
setiap ajarannya dan mentaati serta meneladaninya. biasanya seorang yang sangat
mencintai Rasulullah, maka dia juga akan semakin mentaatinya dan meneladani pola
pikir, sikap dan prilakunya. Dari sinilah sebagian salaf mengatakan: ”ketika
banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk menunjukkan bukti.
Allah berfirman (yang artinya): “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali Imron: 31), Yang terpenting
bukanlah engkau mencintai-Nya. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau
bisa dicintai-Nya. Yang terpenting bukanlah engkau mencintai Rasulullah. Namun
yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa mendapatkan cinta Rasulullah.
Begitu pula, yang terpenting bukanlah engkau mencintai Allah. Namun yang
terpenting adalah bagaimana engkau bisa dicintai-Nya. (Lihat Syarh ‘Aqidah
Ath Thohawiyah, 20/2). Allah sendiri telah menjelaskan bahwa siapapun yang
mentaati Rasul-Nya berarti dia telah mentaati-Nya. Allah berfirman, “Barangsiapa
yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang
berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.” (Qs. An-Nisa’: 80). Wallahu a’lam bis shawab..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar