Kamis, 27 Agustus 2015

MAULID NABI MUHAMMAD SAW DAN REINTERNALISASI USWAH-NYA DALAM MENJAWAB KRISIS MORAL UMAT OLEH : ACHMAD MUHLIS

PROLOG
Rasulullah Muhammad saw adalah teladan yang baik (uswah hasanah) tidak ada duanya bagi mereka yang mengharapkan ridha Allah swt dan percaya terhadap adanya hari pembalasan, serta bagi manusia yang ulul albab yakni manusia yang selalu berdzikir “mengingat Allah” pada saat berdiri, duduk maupun berbaring dan selalu berpikir terhadap ciptaan Allah.
Keteladanan Yang selalu kita dengar ditengah-tengah masyarakat saat ini adalah keteladanan agar menikah pada usia dimana Rasulullah menikah yakni pada usia 25 tahun, itu seolah-olah keteladanan yang harus dan wajib dipenuhi, padahal keteladanan itu bukan hanya diartikan sekedar dan sebatas usia menikah Rasululllah saja. Keteladanan itu hakikatnya segala sesuatu yang melekat pada Rasulullah baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik “kalau kita pakai istilah dalam pengembangan pembelajaran”.
Keteladan Kognitif ”ma’rofi” adalah kualitas pengetahuan, pikiran dan hati Rasulullah yang luar biasa juga patut diteladani, yang dapat melahirkan masyarakat berakhlaq dan berbudi luhur serta berlandaskan demokrasi yang hakiki didunia ini, teori-teori yang saat itu tidak bisa dijangkau, tapi saat ini terbukti teori-teori itu, artinya  Rasulullah dengan kemampuan kognisinya mampu memprediksi kejadian yang belum terjadi berkat bantuan Allah SWT, semisal teori yang dikembangkan oleh BF. Skiner dengan teori “tabularasa”, BF. Skiner menyatakan bahwa manusia lahir layaknya seperti kertas kosong, padahal jauh hari sebelum BF. Skiner lahir, seorang Rasulullah sudah menyatakan lebih dahulu dengan bahasa yang cukup jelas, kongkrit dan elegan yang menunjukkan bahwa kualitas Rasulullah dalam mengolah pikiran sangat luar biasa, sebagaimana disebutkan “Kullu mauludin yuladu ala fitratil islam fa abawahu wuhawwidanihi au yunashsiranihi au yumajjisanihi” (setiap bayi yang dilahirkan adalah suci/tanpa dosa/kertas kosong, maka kedua orang tua-lah yang dapat menyebabkan yahudi atau nasrani atau majusi). Kata fa abawahu (kedua orang tua) kalau kita jabarkan lebih luas dalam konteks ini ada tiga macam antara lain, pertama man waladaka (orang yang melahirkan), kedua man zawwajaka (orang yang mengawinkan/mertua), ketiga man ‘allamaka (orang yang mengajar/guru). Artinya, tiga hal inilah yang sangat berpengaruh dan mempengaruhi terhadap pola pikir, cara pandang, serta prilaku anak.
Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah adalah sosok yang memiliki pengetahuan yang fantastis melampaui para sosiolog “yang dianggap modern” yang marak dikembangkan di beberapa perguruan tinggi saat ini.
Keteladanan afektif “wijdani” yakni keteladanan yang ditunjukkan oleh Rasulullah melalui sikap arif dan bijaksana dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi dirinya maupun umatnya. Dalam buku the legacy of islam David Santillana menulis ”Nabi mengutarakan kata-kata yang mempesona dalam hubungan bertetangga: Berbaik budilah engkau kepada tetanggamu, tariklah selubung dari mukamu, hindari pertengkaran, perhatikan dia dengan rasa kasih sayang, jika dia berbuat jahat maafkanlah dia, jika dia berbuat baik kepadamu ucapkanlah terima kasih kepadanya.” Hal ini juga Nampak dan tergambar dalam al-qur’an sikap Rasulullah dalam menyelesaikan masalah  sebagaimana termaktub dalam surat Ali Imron ayat 159 “maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu (1) maafkanlah mereka. (2) Mohonkanlah ampun bagi mereka. Dan (3) bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (urusan peperangan dan hal-hal duniawiah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lain). Kemudian apabila kamu telah membualatkan tekad, maka (4) bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
Ayat ini menunjukkan bahwa dalam menyikapi semua persoalan baik itu persoalan agama, social, ekonomi, maupun politik, Rasulullah mengacu pada ayat ini dalam melangkah dan menyelesaikan masalah dengan cara pertama memaafkan orang yang bersengketa, kedua  memintakan ampun orang yang bersengkata kepada Allah, ketiga bermusyawarah dengan orang yang bersengketa, keempat  berserah diri kepada Allah apapun hasil keputusan sengketanya. Jika urutan dalam menyelasaikan masalah ini diikuti sesuai dengan rangkaian ayat ini, maka tidak ada dendam diantara orang yang bersengketa karena sudah didasari oleh rasa saling memaafkan dan memintakan ampun sebelum melakukan musyawarah.
Inilah keteladanan afektif “wijdani” Rasulullah dalam menyikapi dan menyelesaikan sengketa diantara sesama.
Berbeda dengan kita saat ini, yang lebih suka menyelesaikan sengketa, langsung dengan musyawarah mengabaikan urutan dalam surat ali imron 159, sehingga hasilnya masalah akan terselesaikan dengan tetap ada dendam diantara para pesengketa, karena tidak dilandasi oleh rasa saling memaafkan dan memintakan ampun antara mereka.
Keteladanan psikomotorik “nafs haroki” ini adalah keteladanan Rasulullah dalam berprilaku dan berbudi pekerti, bagimana seorang Rasulullah memberikan teladan atau memberikan contoh kepada umatnya dengan cara berdiri lama ketika melakukan sholat dimalam hari sehingga kakinya bengkak, menghabiskan waktu malam dengan sholat dan dzikir. Padahal sudah jelas Rasulullah adalah ma’sum (dihapus dosa-dosanya).
Hal lain yang tergambar dalam prilaku Rasulullah yang luar biasa terhadap non muslim sebagaimana diuraikan dalam hadits “ man adza dzimmiyan faqad adzani”, (barang siapa yang menyatiki kafir dzimmi “yang toleran” sama saja dengan menyakiti saya), hadits ini menunjukkan bahwa persamaan hak antar sesama manusia juga patut diteladani oleh umat muhamad. Kata dzimmi “toleran” menunjukkan bahwa toleransi antar umat beragama harus dijunjung tinggi baik dalam hal hubungan ekonomi, sosial maupun politik.
Hakikat peranyaan maulid
Peringatan maulid Nabi Muhammad Saw., merupakan momen penting untuk membangkitkan memori keteladanan Rasul. ”Nama peringatan itu sebenarnya memiliki arti tegas, yaitu untuk memperingatkan dan mengingatkan kita”. Di dalamnya biasanya ada ceramah dan pencerahan yang bisa menambah wawasan keilmuan dan membuka memori keteladanan terhadap Rasulullah. Oleh sebab itu, sejarah Rasul (diba’ atau barzjanji) dibacakan di seantero  negeri ini. Tetapi sayangnya hanya dibaca sebagai wiridan, tanpa harus mengetahui makna sejarah yang diterkandung dan terselubung didalamnya, mengapa diba’ atau berzanji yang dibaca, kenapa tidak baca sholawat yang lain???. Memang tidak ada yang salah jika hanya dengan membaca diba’ atau berzanji, tapi seyogyanya bisa diuraikan, dijelaskan dan dipahamkan makna dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, sehingga berimplikasi positif pada perubahan prilaku, pola pikiran, cara pandang maupun pengetahuan masyarakat yang merayakan. Bukan berarti peringatan maulid Nabi selesai digelar, maka selesai pulalah tradisi, dan  tidak berdampak apa-apa, semoga tidak begitu.
Tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW bermula pada masa pemerintahan Bani Taimiyah, kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan Khalifah Bani Abbas oleh penguasa Al Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) Sultan Salahuddin Al Ayyubi (Soultan Saladin). Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub, setingkat Gubernur dengan pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia.
Perintah merayakan Maulid ini disampaikan pertama kali pada musim Haji 579 H (1183 Masehi). Sebagai penguasa dua tanah suci kala itu, atas persetujuan Khalifah Bani Abbas di Baghdad, Sultan mengimbau agar seluruh jamaah haji seluruh dunia jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam dimana saja berada. Maksud Sultan Salahuddin merayakan tradisi ini selain bentuk cintanya pada Rasul juga sebagai cara membangkitkan semangat juang umat Islam yang kala itu kehilangan semangat juang dan persaudaraan ukhuwah ketika terjadi perang salib. Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang. Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.
Penyair Ahmad Syauqi menggambarkan kelahiran Nabi Mulia itu dalam syairnya yang indah: “Telah dilahirkan seorang Nabi, alam pun bercahaya, sang waktu pun tersenyum dan memuji”.
Cinta Rasulullah Butuh Bukti
Cinta bukanlah hanya diungkapkan semata, semua cinta butuh bukti bukan janji dan bukan retorika. Di antara bentuk cinta pada Rasulullah adalah ittiba’ (mengikuti, meneladani), taat dan berpegang teguh pada petunjuk-Nya serta meneladani segala tindak tanduk Rasulullah baik kognitif, afektif maupun psikomotorik-Nya. Karena hal itu merupakan buah dari kata cinta. Artinya cinta tidak cukup dengan hanya sekedar memperingati tetapi harus berdampak positif pada perubahan pola pikir “uswah ma’rofi”, perubahan sikap “uswah wijdani” dan perubahan prilaku “ uswah nafs haroki”. Itu makna yang sebenarnya memperingati maulid nabi Muhammad. Jika setelah perayaan tanpa ada perubahan, maka itu bukan CINTA Rasulullah tetapi tradisi yang perlu ditinjau ulang.

Penyair Arab mengatakan: Sekiranya cintamu itu benar niscaya engkau akan mentaatinya Karena orang yang mencintai tentu akan mentaati orang yang dicintainya. Cinta pada Rasulullah bukanlah dengan melatunkan nasyid ataupun sya’ir yang indah saja, namun  tidak mengikuti sunnah Rasulullah. Hakikat cinta pada  Rasulullah adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan mentaati serta meneladaninya. biasanya seorang yang sangat mencintai Rasulullah, maka dia juga akan semakin mentaatinya dan meneladani pola pikir, sikap dan prilakunya. Dari sinilah sebagian salaf mengatakan: ”ketika banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk menunjukkan bukti. Allah berfirman (yang artinya): “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali Imron: 31), Yang terpenting bukanlah engkau mencintai-Nya. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa dicintai-Nya. Yang terpenting bukanlah engkau mencintai Rasulullah. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa mendapatkan cinta Rasulullah. Begitu pula, yang terpenting bukanlah engkau mencintai Allah. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa dicintai-Nya. (Lihat Syarh ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 20/2). Allah sendiri telah menjelaskan bahwa siapapun yang mentaati Rasul-Nya berarti dia telah mentaati-Nya. Allah berfirman, “Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (Qs. An-Nisa’: 80). Wallahu a’lam bis shawab..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar