Kamis, 27 Agustus 2015

BENCANA ALAM UNTUK SIAPA??? SALAH SIAPA??? Oleh : Achmad Muhlis

Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu peritiwa fisik seperti erubsi gunung sinabung, letusan gunungkelud, gempa bumi, tanah longsor, banjir dan lain-lain) dan aktivitas manusia, karena ketidak berdayaan manusia, akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan structural, bahkan sampai kematian.
Ketika peristiwa dahsyat yang tidak bisa dinalar dan diduga terjadi, mengundang banyak komentar, baik dari kaum ahli atau awam. Peristiwa tersebut seperti gelombang Tsunami, gempa bumi, banjir bandang, angin puting beliung, maupun letusan gunung merapi  dan lainnya.
Satu pihak beranggapan bahwa peristiwa tersebut adalah merupakan serangkaian gejala alam. Dalam pandangan ini, ada yang menyadari bahwa kejadian luar biasa yang membawa kematian manusia serta kerusakan ekosistem, lingkungan hidup, pencemaran di laut maupun di darat adalah merupakan peristiwa berencana oleh Tuhan sebagai wujud keseimbangan alam (sunnatullah), menurutnya sebagai bentuk teguran atau peringatan Allah kepada manusia, dengan memberi cobaan dan berbagai kesulitan untuk menguji ketakwaan dan kesabaran manusia (Mustofa Bisri, Bencana Alam : Anatara Azab Tuhan dan Gejala Alam?). Sebagaimana pernyataan Al-Qur'an : “Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Karena itu, berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”. (QS. Ali imron, 3 : 137). ”Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga padahal belum datang  kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan. Mereka digoncang (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya : Bilakah datangnya pertolongan Allah ? ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqarah 2 : 214). “Dan sungguh akan kami beri cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah 2 : 155).
Dari ayat-ayat tersebut di atas dapat diketahui bahwa bagi seorang mukmin berbagai kesulitan dan kesusahan baik berupa bencana alam ataupun kegelisahan dan kegundahan hati merupakan ujian sebagai sebuah jalan untuk mencapai surga Allah, sehingga setiap bencana alam yang dating tiba-tiba, merupakan kabar gembira bagi orang-orang yang sabar dan tawakkal kepada-Nya, karena tidak perlu susah payah mencari jalan ke surga, jalan itu didatangkan oleh Allah dihadapannya.
Dipihak lain ada yang menyakini bahwa serangkaian peristiwa bencana lama yang terjadi akhir-akhir ini  adalah wujud  kemarahan dan kemurkaan Allah terhadap manusia, karena kemarahan dan kemurkaan-Nya didatangkan siksa di dunia, (Mustofa Bisri, Bencana Alam : Anatara Azab Tuhan dan Gejala Alam?) baik berupa bencana alam atau persoalan lain yang rumit untuk diselesaikan, seperti : krisis multi dimensi yang berkepanjangan, terindentifikasinya virus yang mematikan, HIV, flu burung dan lain-lain.
Hal ini dibuat sebagai apologi, yang diungkapkan sebagai jalan terakhir untuk menutup sebuah persoalan yang tidak bisa diselesaikan oleh manusia, maka dengan mudahnya persoalan ini dikaitkan dengan kemarahan dan kemurkaan Allah.
Anggapan di atas secara tidak langsung merupakan tindakan yang menyalahkan Tuhan, telebih bila dikaitkan dengan para korban yang dianggap "tidak berdosa", sehingga muncul pertanyaan mengapa Allah tidak menempatkan lokasi bencana alam atau penyakit di daerah "rawan" dengan perbuatan yang bermuatan dosa atau diciptakan untuk orang-orang kafir ?.
Pernyataan tersebut seakan-akan hendak menjustifikasi Allah, bahwa Allah telah berbuat tidak adil dengan menyertakan orang yang tidak berdosa menjadi korban bencana alam, ini berarti manusia telah mengganggu apa yang telah menjadi ketetapan-Nya, serupa dengan apa yang telah dilakukan iblis dalam menolak perintah sujud kepada Adam. Bagi yang beranggapan demikian justru akan semakin jauh dan berputus asa akan rahmat Allah. (Hasyim Muzadi, Sembahlah Tuhan selain Aku : Kajian Pemikiran Islam)
Lebih jauh dari pada itu, peristiwa-peristiwa yang berada di luar dugaan manusia adalah siksaan Allah terhadap orang yang melakukan perbuatan dosa, namun pandangan ini tidak berhenti menyalahkan Allah. (Roeli Lahani Yunus, Renungan Jum'at : Iman, Ilmu, Doa dan Amal Sholeh)
Anggapan ini awalnya berangkat dari Allah kemudian diikuti mencari manusia yang dianggapnya telah berbuat kesalahan (dosa) yang menjadi penyebab dari kemurkaan Allah, sehingga terjadi tindakan mencari-cari kesalahan orang lain dan tanpa disadari dirinya merasa paling benar. Hal ini tidak membawa ke arah yang lebih yang lebih baik, justru bersinggungan dengan sesama manusia, dengan melakukan tindakan ini, seorang pada akhirnya akan berprasangka jelek (su'udz dzan) pada orang lain bahkan menuduh orang lain berbuat jelek, padahal dalam al-Qur'an sudah jelas hal tersebut dilarang sebagaimana tertuang dalam surat al-Hujurat ayat 12 yang berbunyi : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat Lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat : 12).
Menurut anggapan ini, bahwa Allah  telah murka kepada manusia sehingga menjatuhkan adzab-Nya. Kemurkaan-Nya dipicu oleh sejumlah perbuatan manusia, sebagaimana yang terjadi pada zaman terdahulu seperti kaum Nuh yang dibinasakan dengan banjir, kaum 'ad  yang digoncang badai dan lainnya. Hal ini disampai al-Qur'an sebagaimana berikut : “Belum datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Ad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan penduduk negeri-negeri yang telah musnah. Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan menbawa keterangan yang nyata; maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya mereka sendiri”. (QS. At-Taubah : 70).

Lalu benarkah Allah murka? Kemurkaan Allah tidak dapat dilukiskan secara tepat sebagaimana kemurkaan manusia, dia lebih bersifat antropomof, yakni usaha manusia memberikan kepada Allah sifat-sifat yang ada pada manusia baik jasmani maupun perasaan, sehingga kemurkaan Allah lebih ditafsirkan secara analogis sebagai yang menunjukkan jarak yang tak terjembatani antara kesucian Ilahi dengan dosa manusia.
Secara etimologi bahwa kemurkaan terbentuk dari kata dasar "murka" artinya sangat marah, sedangkan marah perasaan atau merasa sangat tidak senang dan panas yang disebabkan dihina atau diberlakukan kurang baik. Term murka memiliki kualitas amarah yang lebih besar walaupun keduanya disebabkan oleh hal yang sama, yakni penghinaan dan diperlakukan kurang baik atau pantas.
Dengan keterbatasan manusia untuk mengetahui tentang kemurkaan Allah,  dan hanya bisa sebatas analogi (antropomof), dalam  hukum manusia perihal penghinaan secara legal formal sudah diatur dalam hukum positif yaitu pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman 3 sampai 4 bulan penjara.
Bisakah gambaran hukum manusia mewakili gambaran hukum Allah yang mana Allah memiliki "hukum" dan "pengadilan" sendiri, karena Dia adalah Maha Bijaksana dan Maha Adil, Apakah tidak berakibat muncul persepsi bahwa Allah juga butuh dihormati, dijaga privasi-Nya dan lain-lain. Bila demikian, maka Allah membutuhkan manusia, padahal Dia tidak sedikitpun membutuhkan yang lain karena Dia Maha Sempurna, sebagaimana termaktub dalm surat al-Ikhlas ayat 2.
Manusia tidak akan pernah bisa mencari esensi Allah, karena dia akan justru tenggelam dalam kehampaan yang tak terbatas, olehnya seorang filosof besar seperti Ibnu Arabi biasanya menukil hadits Nabi yang menyatakan : "pikirkanlah tentang makhluq Allah tapi jangan pernah sekali-kali berpikir tentang dzat Allah".
Bagaimana pandangan al-Qur'an berkenaan dengan kemurkaan Allah, karena al-Qur'an adalah Firman Allah, ada pesan dari-Nya untuk semua umat di dunia, sehingga muatan al-Qur'an menjadi penting untuk diambil, terlebih umat Islam dalam menanggapi berbagai hal, antara lain yang berkenaan  dengan kemurkaan Allah.
Melihat pentingnya mengetahui wawasan al-Qur'an berkenaan dengan kemurkaan Allah, menurut M. Quraish Shihab : "berbicara mengenai wawasan al-Qur'an tidak akan sempurna, bahkan boleh jadi keliru, jika pandangan hanya tertuju kepada satu satu dua ayat yang berbicara menyangkut hal tersebut". Maka dirasa perlu untuk dilakukan kajian seputar kemurkaan Allah dalam pandangan al-Qur'an..wallahu a’lam bis shawab.

MAULID NABI MUHAMMAD SAW DAN REINTERNALISASI USWAH-NYA DALAM MENJAWAB KRISIS MORAL UMAT OLEH : ACHMAD MUHLIS

PROLOG
Rasulullah Muhammad saw adalah teladan yang baik (uswah hasanah) tidak ada duanya bagi mereka yang mengharapkan ridha Allah swt dan percaya terhadap adanya hari pembalasan, serta bagi manusia yang ulul albab yakni manusia yang selalu berdzikir “mengingat Allah” pada saat berdiri, duduk maupun berbaring dan selalu berpikir terhadap ciptaan Allah.
Keteladanan Yang selalu kita dengar ditengah-tengah masyarakat saat ini adalah keteladanan agar menikah pada usia dimana Rasulullah menikah yakni pada usia 25 tahun, itu seolah-olah keteladanan yang harus dan wajib dipenuhi, padahal keteladanan itu bukan hanya diartikan sekedar dan sebatas usia menikah Rasululllah saja. Keteladanan itu hakikatnya segala sesuatu yang melekat pada Rasulullah baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik “kalau kita pakai istilah dalam pengembangan pembelajaran”.
Keteladan Kognitif ”ma’rofi” adalah kualitas pengetahuan, pikiran dan hati Rasulullah yang luar biasa juga patut diteladani, yang dapat melahirkan masyarakat berakhlaq dan berbudi luhur serta berlandaskan demokrasi yang hakiki didunia ini, teori-teori yang saat itu tidak bisa dijangkau, tapi saat ini terbukti teori-teori itu, artinya  Rasulullah dengan kemampuan kognisinya mampu memprediksi kejadian yang belum terjadi berkat bantuan Allah SWT, semisal teori yang dikembangkan oleh BF. Skiner dengan teori “tabularasa”, BF. Skiner menyatakan bahwa manusia lahir layaknya seperti kertas kosong, padahal jauh hari sebelum BF. Skiner lahir, seorang Rasulullah sudah menyatakan lebih dahulu dengan bahasa yang cukup jelas, kongkrit dan elegan yang menunjukkan bahwa kualitas Rasulullah dalam mengolah pikiran sangat luar biasa, sebagaimana disebutkan “Kullu mauludin yuladu ala fitratil islam fa abawahu wuhawwidanihi au yunashsiranihi au yumajjisanihi” (setiap bayi yang dilahirkan adalah suci/tanpa dosa/kertas kosong, maka kedua orang tua-lah yang dapat menyebabkan yahudi atau nasrani atau majusi). Kata fa abawahu (kedua orang tua) kalau kita jabarkan lebih luas dalam konteks ini ada tiga macam antara lain, pertama man waladaka (orang yang melahirkan), kedua man zawwajaka (orang yang mengawinkan/mertua), ketiga man ‘allamaka (orang yang mengajar/guru). Artinya, tiga hal inilah yang sangat berpengaruh dan mempengaruhi terhadap pola pikir, cara pandang, serta prilaku anak.
Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah adalah sosok yang memiliki pengetahuan yang fantastis melampaui para sosiolog “yang dianggap modern” yang marak dikembangkan di beberapa perguruan tinggi saat ini.
Keteladanan afektif “wijdani” yakni keteladanan yang ditunjukkan oleh Rasulullah melalui sikap arif dan bijaksana dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi dirinya maupun umatnya. Dalam buku the legacy of islam David Santillana menulis ”Nabi mengutarakan kata-kata yang mempesona dalam hubungan bertetangga: Berbaik budilah engkau kepada tetanggamu, tariklah selubung dari mukamu, hindari pertengkaran, perhatikan dia dengan rasa kasih sayang, jika dia berbuat jahat maafkanlah dia, jika dia berbuat baik kepadamu ucapkanlah terima kasih kepadanya.” Hal ini juga Nampak dan tergambar dalam al-qur’an sikap Rasulullah dalam menyelesaikan masalah  sebagaimana termaktub dalam surat Ali Imron ayat 159 “maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu (1) maafkanlah mereka. (2) Mohonkanlah ampun bagi mereka. Dan (3) bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (urusan peperangan dan hal-hal duniawiah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lain). Kemudian apabila kamu telah membualatkan tekad, maka (4) bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
Ayat ini menunjukkan bahwa dalam menyikapi semua persoalan baik itu persoalan agama, social, ekonomi, maupun politik, Rasulullah mengacu pada ayat ini dalam melangkah dan menyelesaikan masalah dengan cara pertama memaafkan orang yang bersengketa, kedua  memintakan ampun orang yang bersengkata kepada Allah, ketiga bermusyawarah dengan orang yang bersengketa, keempat  berserah diri kepada Allah apapun hasil keputusan sengketanya. Jika urutan dalam menyelasaikan masalah ini diikuti sesuai dengan rangkaian ayat ini, maka tidak ada dendam diantara orang yang bersengketa karena sudah didasari oleh rasa saling memaafkan dan memintakan ampun sebelum melakukan musyawarah.
Inilah keteladanan afektif “wijdani” Rasulullah dalam menyikapi dan menyelesaikan sengketa diantara sesama.
Berbeda dengan kita saat ini, yang lebih suka menyelesaikan sengketa, langsung dengan musyawarah mengabaikan urutan dalam surat ali imron 159, sehingga hasilnya masalah akan terselesaikan dengan tetap ada dendam diantara para pesengketa, karena tidak dilandasi oleh rasa saling memaafkan dan memintakan ampun antara mereka.
Keteladanan psikomotorik “nafs haroki” ini adalah keteladanan Rasulullah dalam berprilaku dan berbudi pekerti, bagimana seorang Rasulullah memberikan teladan atau memberikan contoh kepada umatnya dengan cara berdiri lama ketika melakukan sholat dimalam hari sehingga kakinya bengkak, menghabiskan waktu malam dengan sholat dan dzikir. Padahal sudah jelas Rasulullah adalah ma’sum (dihapus dosa-dosanya).
Hal lain yang tergambar dalam prilaku Rasulullah yang luar biasa terhadap non muslim sebagaimana diuraikan dalam hadits “ man adza dzimmiyan faqad adzani”, (barang siapa yang menyatiki kafir dzimmi “yang toleran” sama saja dengan menyakiti saya), hadits ini menunjukkan bahwa persamaan hak antar sesama manusia juga patut diteladani oleh umat muhamad. Kata dzimmi “toleran” menunjukkan bahwa toleransi antar umat beragama harus dijunjung tinggi baik dalam hal hubungan ekonomi, sosial maupun politik.
Hakikat peranyaan maulid
Peringatan maulid Nabi Muhammad Saw., merupakan momen penting untuk membangkitkan memori keteladanan Rasul. ”Nama peringatan itu sebenarnya memiliki arti tegas, yaitu untuk memperingatkan dan mengingatkan kita”. Di dalamnya biasanya ada ceramah dan pencerahan yang bisa menambah wawasan keilmuan dan membuka memori keteladanan terhadap Rasulullah. Oleh sebab itu, sejarah Rasul (diba’ atau barzjanji) dibacakan di seantero  negeri ini. Tetapi sayangnya hanya dibaca sebagai wiridan, tanpa harus mengetahui makna sejarah yang diterkandung dan terselubung didalamnya, mengapa diba’ atau berzanji yang dibaca, kenapa tidak baca sholawat yang lain???. Memang tidak ada yang salah jika hanya dengan membaca diba’ atau berzanji, tapi seyogyanya bisa diuraikan, dijelaskan dan dipahamkan makna dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, sehingga berimplikasi positif pada perubahan prilaku, pola pikiran, cara pandang maupun pengetahuan masyarakat yang merayakan. Bukan berarti peringatan maulid Nabi selesai digelar, maka selesai pulalah tradisi, dan  tidak berdampak apa-apa, semoga tidak begitu.
Tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW bermula pada masa pemerintahan Bani Taimiyah, kemudian dilanjutkan pada masa pemerintahan Khalifah Bani Abbas oleh penguasa Al Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) Sultan Salahuddin Al Ayyubi (Soultan Saladin). Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub, setingkat Gubernur dengan pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia.
Perintah merayakan Maulid ini disampaikan pertama kali pada musim Haji 579 H (1183 Masehi). Sebagai penguasa dua tanah suci kala itu, atas persetujuan Khalifah Bani Abbas di Baghdad, Sultan mengimbau agar seluruh jamaah haji seluruh dunia jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam dimana saja berada. Maksud Sultan Salahuddin merayakan tradisi ini selain bentuk cintanya pada Rasul juga sebagai cara membangkitkan semangat juang umat Islam yang kala itu kehilangan semangat juang dan persaudaraan ukhuwah ketika terjadi perang salib. Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang. Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan Maulid Nabi.
Penyair Ahmad Syauqi menggambarkan kelahiran Nabi Mulia itu dalam syairnya yang indah: “Telah dilahirkan seorang Nabi, alam pun bercahaya, sang waktu pun tersenyum dan memuji”.
Cinta Rasulullah Butuh Bukti
Cinta bukanlah hanya diungkapkan semata, semua cinta butuh bukti bukan janji dan bukan retorika. Di antara bentuk cinta pada Rasulullah adalah ittiba’ (mengikuti, meneladani), taat dan berpegang teguh pada petunjuk-Nya serta meneladani segala tindak tanduk Rasulullah baik kognitif, afektif maupun psikomotorik-Nya. Karena hal itu merupakan buah dari kata cinta. Artinya cinta tidak cukup dengan hanya sekedar memperingati tetapi harus berdampak positif pada perubahan pola pikir “uswah ma’rofi”, perubahan sikap “uswah wijdani” dan perubahan prilaku “ uswah nafs haroki”. Itu makna yang sebenarnya memperingati maulid nabi Muhammad. Jika setelah perayaan tanpa ada perubahan, maka itu bukan CINTA Rasulullah tetapi tradisi yang perlu ditinjau ulang.

Penyair Arab mengatakan: Sekiranya cintamu itu benar niscaya engkau akan mentaatinya Karena orang yang mencintai tentu akan mentaati orang yang dicintainya. Cinta pada Rasulullah bukanlah dengan melatunkan nasyid ataupun sya’ir yang indah saja, namun  tidak mengikuti sunnah Rasulullah. Hakikat cinta pada  Rasulullah adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan mentaati serta meneladaninya. biasanya seorang yang sangat mencintai Rasulullah, maka dia juga akan semakin mentaatinya dan meneladani pola pikir, sikap dan prilakunya. Dari sinilah sebagian salaf mengatakan: ”ketika banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk menunjukkan bukti. Allah berfirman (yang artinya): “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali Imron: 31), Yang terpenting bukanlah engkau mencintai-Nya. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa dicintai-Nya. Yang terpenting bukanlah engkau mencintai Rasulullah. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa mendapatkan cinta Rasulullah. Begitu pula, yang terpenting bukanlah engkau mencintai Allah. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa dicintai-Nya. (Lihat Syarh ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 20/2). Allah sendiri telah menjelaskan bahwa siapapun yang mentaati Rasul-Nya berarti dia telah mentaati-Nya. Allah berfirman, “Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (Qs. An-Nisa’: 80). Wallahu a’lam bis shawab..

Jumat, 14 Agustus 2015

تـدريس مهـارة الكتـابـة فى المـرحـلة الإبتـدائيـة حـول تدريس الإمـلاء في اللغـة العربيـة

قـدمـه : أحمـد مخلـص·
Abstrak : Aktifitas menulis merupakan suatu bentuk manifestasi keterampilan berbahasa paling akhir dikuasai pembelajar bahasa setelah kemampuan mendengarkan, berbicara dan membaca. Dibanding tiga kemampuan berbahasa yang lain, kemampuan menulis lebih sulit dikuasai bahkan oleh penutur asli bahasa yang bersangkutan sekalipun. Hal itu disebabkan kemampuan menulis menghendaki penguasaan berbagai unsur diluar bahasa itu sendiri termasuk didalamnya adalah imla’. Makalah ini mencoba untuk menguraikan secara singkat pembelajaran imla’ khususnya pada tingkat pemula, termasuk didalamnya hal-hal yang terkait dengan problematika penulisan huruf arab yang kerap kali dianggap sepele oleh pembelajar pemula.
الكلمة الرئيسية : مهارة الكتابة، الإملاء، الشكل، الإعجام، وصل الحروف.
التمهيــد
تعبير الكتابة مهارة مهمة من مهارات اللغة, كما تعتبر القدرة على الكتابة هدفا أساسيا من أهداف تعلم اللغة الأجنبية. والكتابة كفن لغوي لا تقل أهمية عن الحديث أو القراءة, فإذا كان الحديث وسيلة من وسائل الإتصال الإنسان بغيره من أبناء الأمم الأخرى, به ينقل انفعالاته ومشاعره وأفكاره ويقضي حاجته وغايته. وإذا كانت القراءة أداة الإنسان فى الترحال عبر المسافات البعيدة والأزمنة العابرة والثقافات المختلفة, فإن الكتابة تعتبر من مفاخر العقل الإنساني ودليل على عظمته حيث ذكر العلماء أن الإنسان حين اخترع الكتابة بدأ تاريخه الحقيقي. فبا الكتابة سجل تاريخه وحافظ على بقائه, وبدونها قد لا تستطيع الجماعات أن تبقي فى بقاء ثقافاتها وتراثها, ولا أن تستفيد وتفيد من نتائج العقل الانساني الذي لا بديل عن الكلمة المكتوبة أداة لحفظه ونقله وتطوره.
والكتابة وإن كانت مهمة كوسيلة من وسائل الاتصال والتعبير عن النفس والفكر, فإنها مهمة ايضا فى حجرة الدراسة حيث يتطلع الدارس للغة العربية الى القدرة على أن يكتب بها كما يتحدث ويقراء[1].
إن الكتابة أيضا وسيلة من وسائل تعلم اللغة. فهي تساعد الدارس على التقاط المفردات وتعرف التراكيب واستخدامها, كما أنها تسهم كثيرا فى تعميق وتجويد مهارات اللغة الأخرى كالحديث والقراءة والاستماع كما ذكرنا فيما مضي.
وسنعرض فى هذه المقالة المراحل المعينة ونحدد فى المستوى الابتدائي. والمراد بالمستوى الابتدائي هنا, فإنه يعد بالمرحلة الابتدائية (MI) فى بلادنا اندونيسيا. وأما العوامل الأخرى الخارجة من تحديد هذا البحث فمنها تعريف الكتابة وأهداف تدريسها وبرنامجها وأنشطتها والتدرج فى تعليمها وطرق تدريسها ووسائل الدراسة لها والاختبار فى تدريسها, ولمحة عن تدريس الاملاء المنقول فيها لتطبيق تعليمها.

تدريس مهـارة الكتـابـة فى المـرحـلة الإبتـدائيـة

الكتابة تشير الى مجموعة من الأنشطة والمهارات التى تتميز كل منها بمطالب معينة تفرضها على الكاتب. هذه الأنشطة تبدأ بتحويل الصوت المسموع فى اللغة الى شكل مرئي متفق عليه, وهذه العملية لا تتضمن أكثر من ربط الرموز الصوتية بالرموز المرئية أي كتابة الأصوات بالحروف الدالة عليها.
واذا كان للغة فى حياة الانسان وظيفتان أساسيتان هما الاتصال, وتسهيل عملية التفكير والتعبير عن النفس. فإن الكتابة قادر على أداء هاتين الوظيفتين. فنحن يمكننا القول بأن التعبير الكتابي وسيلة من وسائل الاتصال كما أنه ترجمة للفكر وتعبير عن النفس فى ذات الوقت, ولكون كذلك أصبح ذا أهمية كبيرة فى حياة الفرد والجماعات[2].
أما الكتابة عند هرجنو فهي تخليد اللغة برموز الكتابية. وقال عالم اللغة الآخرو إن تعريف الكتابة يتوقف على إدراك الفرق بين معنيين :
المعنى الأول وهو تسجيل الحروف والكلمات والجمل على الأوراق والألواح وغيرها, فهي تحويل الفونيمات الصوتية المسموعة الى رموز وخطوط وأشكال مكتوبة بطريقة ما منفصلة كانت أو متصلة فى صورة حروف أو كلمات[3].
والمعنى الثاني وهو ما اصطلح عليه اللغويون بأن الكتابة مرافة للإنشاء أو التعبير التحريري[4]. وتقول Chomsky إن الكتابة هدف محدد ومحسوس أكثر من القراءة, فهي تتطلب من التلميذ أن يحول الكلمة المنطوقة التى يعرفها الى شكل مكتوب[5]. انطلاقا من التعريفات المذكورة فإن الكتابة هى القدرة على التعبير عن مجموعة أفكار وعرضها تدوينا بطريقة منظمة وبلغة صحيحة وأسلوب سليم.

أهـداف تدريس الإمـلاء فى المـرحـلة الابتـدائيـة

يهدف تدريس الاملاء فى مرحلة التعليم الاساسي الى تحقيق الاهداف التالية :
1.    تطبيق علامات الترقيم[6]، كل فى موضعها فى كتابات التلميذ المخلتفة, وعلى وجه الخصوص الواجبات المدرسية، وتدريباتها, وانشطتها لتصبح عادة ملازمة له فى كل كتاباته فيما بعد.
2.    كتابة الكلمات والجمل[7]، ورسمها رسما صحيحا بدون زيادة فيها أو نقص، وبحيث يميز الكتابة الصحيحة من الكتابة الخطاء.
3.    غرس بعض العادات الطيبة لدى التلاميذ[8]. كالنظافة، والملاحظة، والدقة، والاتساق والانتباه، والاستماع الجيد، والسرعة، والقدرة على المتابعة، وربط النظر بالتطبيق.
4.    ريادة المهارات الحركية الخاصة بالعين واليد[9].
5.    المام التلاميذ بالقواعد الاملائية لينتفعوا بها عند الحاجة اليها[10].

برنامـج الامـلاء فى المـرحـلة الابتـدائيـة

البرنامج هو سلسلة من العمليات، معدة سلفا لتسلك فى مجموعها عملية واحدة تقدم للمتعلم، فتؤدى الى اغراض سلوكية محددة فى التلعم[11].
ولعل الاملاء من فروع اللغة العربية التى يمكن تحديد اهدافها بأسلوب اجرائي، لان برنامجها  يسهل ملاحظة وقياسه، اما فى جانب التهجية، او جانب الكتابة، وعليه فمن السهل وضع برنامج علاجى للذين يخطئون فى الكتابة بعد المستوى الثانى من التعليم الاساسي، وذلك بالتركيز على نواحى الضعف لدى هؤلاء، والاخطاء الشائعة بينهم.
وقد يتراءى لبعض المربين أن برنامج الاملاء يكاد ينحصر فى كيفية كتابة الهمزة بمواقعها المختلفة، والالف اللينة، وبعض الموضوعات الاخرى[12]، ولكن البرنامج يشمل كل ما يتصل بالكتابة من الناحية الفنية مثل: ادراك المعنى بحيث لا يكتب كلمة بدل أخرى لمجرد وجود تقارب فى النطق.
ويمكن عرض ابراز موضوعات برنامج الاملاء على النحو التالى : الحركات القصيرة والطويلة، اللام الشمسية والقمرية، الشد والتنوين، والتاء المربوطة والمفتوحة، الهمزة المتطرفة بعد المد وعلى الألف، مد الهمزة بالألف فى اول الكلمة ووسطها، الألف اللينة ، همزة الوصل، ودخول بعض الحروف عليها، انواع الهمزات الواردة فى نصوص القراءة، الألف بعد واو الجماعة، التنوين واو عمرو، بعض الحروف التى تلفظ ولا تكتب، الهمزة المتطرفة بعد ساكن، حروف تكتب ولا تلفظ، استخدام بعض علامات الترقيم، معالج المشكلات التى تظهر فى اثناء التدريب على الكتابة الهمزة فى اول الكلمة وما يدخل عليها من حروف، الهمزة المرسومة على ياء، وواو، والف وسط الكلمة الهمزة المنفردة آخر الكلمة، الألف اللينة فى الثلاثى من اسماء والافعال[13]، مواضع الحذف والزيادة الكثير الدوران فى الكتابة، تصحيح الأخطاء التى لا تزال فاشية فى كتابات التلاميذ، والتى لم يدربو عليها تدريبا كافيا، حتى يتمكنوا من تلافيها.
وهذا البرنامج موزع على الصفوف السبعة من مرحلى التعليم الاساسى، فالإملاء يتصف على معالجة الأخطاء الشائعة بين تلاميذ بحيث لا يدخل التلميذ المرحلة الثانوية الا وقد سيطر تماما على الكتابة من جانبها الاملائى، ولكن لم يتم تحقيق اكبر قدرة من النجاح لذا البرنامج يمكن أن يراعى ما يلى :
1.   الاكثار من الإملاء المنقول فى المستوى الاول من التعليم الاساسى.
2.   املاء مالا يقل عن عشرين قطعة املاء منظورا واختباريا، فى مجالات القراءة التى يدرسها التلميذ، وفيها يرى المعلم اختياره.
3.   ضرورة تحرير التلميذ من قداسة الكلمة المطبوعة، حتى لا يقع عينه على الخطاء، ويتأكد أنه صواب.
4.   ضرورة الوقوف على ما يصدر عن مجمع اللغة العربية من قرارات تتصل بالقواعد الاملائية.
5.   التركيز على قواعد الإملاء فى الصفين الاخيرين من المستوى الثانى ثم فى الصف السابع.
6.   بيان القاعدة التى تتعدد فيها وجهات النظر، واتفق على صحة كتابتها.
7.   ضرورة تعاون البيت – ما امكن- مع المدرسة فى ملاحظة المكتوب، والمشاركة فى تصحيحه.
8.   التركيز على الأخطاء التى تصدر من بعض وسائل الاعلام، وكذا التى تصدر من الكبار.
9.   يقظة المعلم لكتابات التلاميذ وتعرف الاخطاء الجماعية الشائعة, وكذا الفردية, الاسراع بتصحيخها، لان تصحيح غيره يأتى- غالبا بعد فوات الاوان، ويصب من الصعب ازالة ما تعلمه من خطاء.
10.          اعتبار تصحيح الاخطاء الاملائية مسئولية كل مدرس فى المدرسة، لأن حرص المعلم على فكرته التخصصية تساوى نفس الحرص على صحة الوسيلة التى انتقلت بها هذه الفكرة اليه[14].

أنشطـة الكتـابة والتـدرج فى تعليـم الإمـلاء

للإملاء منزلة كبيرة بين فروع اللغة,, فهو من الأسس الهامة للتعبير الكتابي، واذا كانت القواعد النحوية والصرفية وسيلة لصحة الكتابة من النواحى الاعرابية والاشتقاقية ونحوها، فان الإملاء وسيلة لها من حيث الصورة الخطية، والخطاء الإملائي يشوه الكتابة، وقد يعوق فهم الجملة، كما أنه يدعو الى احتقار الكاتب وازدرائه[15].
والإملاء بالنسبة لصغار التلاميذ مقياس دقيق للمستوى الذى وصلوا اليه فى التعليم، ونستطيع – فى سهولة – أن نحكم على مستوى الطفل بعد أن ننظر الى كراسته التى يكتب فيها قطع الإملاء.
والغرض منه، تدريب التلاميذ على رسم الحروف والكلمات رسما صحيحا، مع زيادة العناية بالكلمات التى يكثر فيها الخطاء[16]،والتدربي على جودة الخط،وتعويد التلاميذ الدقة والنظام والكتابة بسرعة, وحسن الاستماع والفهم لما يلقى عليهم.  وليست هذه الكلمات الصعيبة مقصورة على الكلمات المهموزة أو المختومة بألف لينة، بل هناك كلمات أخرى لا تقل عن هذه فى الصعوبة، وتحتاج الى العناية بها، والتنبيه عليها، مثل كلمة مصر مع كلمة مطر, وكلمة يثبت ويتطلب، ويصطدم ونحو ذلك[17]. وكذلك أن الإملاء فرع من فروع اللغة، فيجب أن يحقق نصيبا من الوظيفة الأساسية للغة، وهى الفهم والإفهام، ويكون ذلك بحسن اختيار القطعة، واتباع الطرق المجدية على النحو الذى ينفصله فيما بعد.
ووسائل التمرين على الكتابة ومعرفة الكلمات ورسومها كثيرة منها : نسخ القطعة ولو من كتب القراءة وكثرة المطالعات إذ بها يعرف التلميذ رسم الكلمة بطريقة التقليد والمحاكاة، والتهجي الشفهي وهو طريق جيد لمعرفة الحروف التى تتكون منها الكلمات وادراك الفروق الدقيقة بين الحروف المتقاربة المخارج. ولا بد من أن يتدرج الإملاء مع نمو الطفل، ومن ذلك اختلفت طرقه باختلاف سني الدراسة.
ويمر التلميذ عادة فى المرحلة الابتدائية بجميع أنواع الإملاء وهى الإملاء المنقول، والإملاء المنظور، والإملاء غير المنظور، لأن من أسس هذه المرحلة أن يخرج التلميذ منها وهو قادر على كتابة ما يلقى عليه من نصوص كتابة سليمة خالية من الخطاء، على أن المناهج الخالية للمرحلة الاعدادية نصت على ادخال درس الإملاء فى الصفين الأول والثانى الاعداديين لتلاميذ في ما يقع فيه التلاميذ من خطاء بعد لوحظ أن مهارات الاملائية التى اكتسابها التلاميذ فى المرحلة الابتدائية لا تزال بحاجة الى دعم فى المرحلة الاعدادية[18]. ولهذا وضع فى المرحلة الاعدادية منهج إملائي مقرر يتضمن التدريب على صعوبات الإملاء التى يشيع فيها خطاء التلاميذ.
وتدريس الاملاء فى هذه المرحلة لا يقتصر على التدريبات، وانما يتضمن أيضا شرح القاعدة الاملائية ويتبع فى ذلك عادة ما يتبع فى تدريس القواعد النحوية من عرض للأمثلة التى تتضمن الصعوبة الاملائية ثم مناقشتها، والربط بينها عن طريق جواب التلاميذ الموصول الى القواعد الإملائية المطلوبة ثم اجراء التدريب المناسب على القواعد المقررة.
ويلاحظ فى اختيار الأمثلة أن تكون عباراتها طبيعية غير متكلفة، وأن تكون فى مستوى التلاميذ من حيث الفكرة واللغة، وأن تفيدهم فى نمو أفكارهم وأساليبهم.
مشـكلات الكتـابة العـربيـة فى تدريس الإمـلاء
ينال الباحث نظام الكتابة العربية أو الإملاء منذ اقدام العصور، فمنهم  من رضى عنها ومنهم من راى فيها اعوجاجا بغية بعض الإصلاح، ومنهم من ضاق بها جملة وتفصيلا. مشكلات الكتابة أو الاملاء العربية كثيرة متعددة هى : الشكل، وقواعد الاملاء، واختلاف صور الحرف ياختلاف موضعه من الكلمة، والإعجام، ووصل الحروف وفصلها، واستخدام الصوائت القصار أو الإعراب، واختلاف هجاء المصحف عن الهجاء العادى[19]. وتبدو مشكلات الاملاء فى صورة متعددة، ولكن هناك مقترحات لحل تلك المشكلات. وفيما يلى عرض لما تعلنيه الاملاء من مشكلات، والحلول المقترحة بشأنها[20]. وفيما يلى بيان ذلك تفصيلا :
1.   الشكل : المقصود بالشكل هو وضع الحركات القصار على الحروف : الضمة، والفتحة, والكسرة. وهو يكون المصدر الأول من مصادر الصعوبة، فإذا وجد الطفل أمام لفظة " علم" مثلا حار فيها اذا كانت : عَلِمَ أو عَلّمَ أو عُلِمَ أو عِلْم. واذا وجد لفظا مثل " أن" تحير هل يقرؤنها : أَنْ، أو أَنَّ أو إِن أو إِنّ. ونشأ عن ذلك أننا لا نجد حتى من بين من تفوقوا فى اللغة العربية من لا يخطىء فى ضيط الكلمات، لأن طريق الضبط يحتاج الى بحوث ومجهودات قل من يستطيع التفرغ لها أو الوصول اليها[21]. تبدو الكلمة العربية المكتوبة خالية من التشكيل، الامر الذى يسبب صعوبة فى ضبط الكلمة فاذا وجد الطفل أمامه "علم" حار فى نطقها، والواقع أن الانسان لا يقرأ ولا يكتب الكلمات منفصلة عن سيقها فى الجملة والقرينة هى التى تزيل الابهام وتعيين على تقرير وجه واحد من وجوه الشكل[22]. وليست العربية بدعا فى ذلك فاللغات الأجنبية ليست خلوا من صعوبات أخرى فى النطق، ففى الاتجليزية الحرفان th ينطقان ذالا فى This وثاء فى Think. فضلا عن ان الكتب مدرسية تقدم الان مشكلة للتلميذ.
2.   إختلاف صورة الحرف باختلاف موضعه من الكلمة. تعددت صور بعض الحروف فى الكلمة : فهناك حرورف تبقى على صورة واحدة هى : الدال والذال والراء والزاى والطاء والظاء والواو وهناك حروف لكل منها صورتان هى : الباء والتاء والثاء والجيم والحاء والخاء والسين والشين والصاد والضاد والفاء والقاف واللام والنون والياء. وهناك حروف لكل منها ثلاث صور هى : الكاف والميم. وهناك حروف لكل منها أربع صور هى : العين والغين والهاء[23]. وغنى عن البيان أن تغيير أشكال الحروف بتغيير مواضعها فى الكلمة يستلزم إجهاد ذهن المتعلم خلال تعلمه الكتابة[24].
والواقع أن هذه الصعوبة عملية مبالغ فيها، فليس من الصحيح القل أن لكل حرف أكثر من صورة بل الصواب أن يقال أن لكل حرف صورة واحدة اذ استثنيت الكاف والهاء والياء.
يضاف الى هذا أن تعدد صور الحروف فى الكتابة العربية يربك المتعلم فى بداية تعلمه، ويوقعه فى اضطراب نفسى، اذ أنه يجد للحرف صورتين أو أكثر والتلميذ فى تعلم الكتابة يربط جملة أشياء بعضها ببعض : صورة المدرك والصوت الذى يدل عليه، والزمن المكتوب[25]. فاذا جعلنا للحرف الواحد عدة صور زدنا هذه العملية تعقيدا، وصار تقدم الطفل فى تعليم الكتابة بطيئا اذا قارنا ذلك بتعلمه الأجنبية[26].
3.   الإعجام. المقصود بالإعجام هو نقط الحروف، والملاحظ أن نصف عدد حرورف الهجاء معجم[27] والنصف الآخر مهمل، وأن عدد النقاط يختلف باختلف الحروف المنقوطة, وأن وضع النقط يختلف باختلاف هذه الحروف أيضا. كل ذلك شكل صعوبة أخرى تضاف الى الصعوبات المتملة فى الكتابة العربية[28].
والواقع أن الأعجام فيه اقتصاد كبير، لأنه أغنى عن حروف جديد كانت تقتضيها الكتابة.
4.   وصل الحروف وفصلها.  تتكون الكلمات العربية من حروف يجب وصلها وأخرى يجب فصلها، بينهما النظام اللتيني يقضى  بوضع الحروف الى جانب بعضها بعضا فى وضع افقى. ونظام الكتابة العربية بهذا الشكل أمر معقد وصعب التعلم والتذكر[29]. حيث يقضى بترتيب بعض حروف الكلمة ترتيبا رأسيا، وبترتيب البعض الآخر ترتيبا افقيا، يترتب على ذلك أن التلميذ فى الكتابة العربية محتاج الى معرفة موضع كل حرف من الحرفين المجاورين له، فى حين أنه فى الكتابة اللاتينية لا يفكر فى شيئ من هذا، فهو يعرف قاعدة واحدة هى وضع الحروف الى جانب بعضها البعض. والكتابة العربية بواسطة فصل الحروف ووصلها ونظام كتابتها المعروف معقدة، صعبة التعلم والتذكر[30]. والواقع أن نظام الكتاب العربية يتوافر فيه معنى الوحدات المتماسكة، حتى وان كتب بعد كلماتها منفصلة الى أكثر من جزء فضلا عن أن الحروف العربية تجمع بين الايحاز والانسجام،  وجمال الشكل، واليسر فى مبناها.
5.   استخدام الصوائت القصار. تتمثل الصوائت الخفيفة، الضمة، والفتحة، والكسرة، وترسم حركة، والصوائت الممدودة حروف العلة. وتمكن مشكلة الصوائت القصيرة فى الكتابة العربية أن المتعلم يقع فى لبس أحيانا وخصوصا فى حالة النطق بها كاملاء، فيكتب هذه الصوائت حروفا[31].
عدم استخدام الحروف التى تتمثل الصوائت القصار أوقع التلاميذ فى صعوبة التمييز بين قصار الحركات وطوالها، وأدخلهم فى باب لبس فرسموا الصوائت القصار حروفا. والملاحظة أن استخدام حروف العلة للدلالة على الصوائت الممدة خطوة مهمة الى الأمام فى تاريخ تطور الكتابة العربية، غير أن التطور الذى بدأ فى هذا الاتجاه لم يستمر ليشمل الصوائت الخفيفة : الضمة والفتحة والكسرة، فمازالت ترسم حركات، وقد برر علماء اللغة ذلك الوضع بعلة التمييز بين الحروف والحركات، وسببوا بذلك تحجر كتابة الحركات القصار على الأشكال التى نستعملها الآن[32]. والواقع أن عدم كتابة الصوائت القصار حروفا لمنع اللبس بينها وبين الصوائت الطويلة ينطلق من مسلمة فى العربية أنها لغة تميل الى الايجاز من حيث مبناها، ومعناها، وكذا كتابتها.
6.   الاعراب. تتغير الكلمة تارة بالحركة، وتارة بالحرف، وتارة بالاثبات، وتارة بالحذف، بل قد يطرأ التغيير على وسط الكلمة، وذلك كله بسبب موقعها الاعرابي والعامل الاعرابى فيها. وهذه العوامل التى تؤثر على صورة الكلمة بحذف بعض حروفها تكون موطن صعوبة أمام التلاميذ بعدم درايتهم بها، وهى عوامل نحوية أو صرفية لم يتعرض لها التلميذ فى فترات تعلم الهجاء[33].
وتلافيا لتلك الصعوبة تؤجل تعلم تلك المواطن فترة تعلم الاملاء، على أن تدرس بالتدريج بعد اتقان مهارات الاملاء فى نهاية المرحلة الاعدادية.
7.   اختلاف هجاء المصحف عن الهجاء العادى. من الملاحظة أن هجاء المصحف مختلف عن الهجاء العادى، وذلك فى عدة مواضع هى : الحذف, والزيادة، ومد التاء وقبضها، والفصل, والوصل فى بعد الكلمات. وهذا الاختلاف بين نوعى الهجاء يشكل موطن صعوبة يواجهها التلميذ حين تقع عينه على بعض آيات القرآن الكريم فى أثناء دراسته. والوقع أن هذا الاختلاف محدود، ويمكن ان ينبه اليه التلميذ فى اثناء قراءة القرآن ودرس الاملاء ؟ وهذا العمل من جانب المعلم يمكن أن يقدم التلميذ الى القرآن الكريم بحيث يتيسر له قراءته فيما بعد، لأن التغلب على هذا الاختلاف أمر سهل لا تصل صعوبته, ولا خطورته الى الكتابة  المصحف بالهجاء العادى، لما يترتب عليه من مخاطر، وخلافات بين المسلمين فيما بعد[34].
8.   الاختلاف فى قواعد الاملاء. كثرة الدراسات التى تناولت قواعد الاملاء على أنها تشتمل على صعوبات تفوق الكتابة عند الناشئين[35]. ويمكن تلخيص هذه الصعوبات فيما يلى :
أ‌.       الفرق بين رسم الحرف وصوته. المفروض من نظام الكتابة السهلة أن رسم الحروف يكون مطابقا لأصواتها، بحيث إن كل ما ينطق يكتب، ومالا ينطق به لا يكتب. ولكننا نجد أن الكتابة العربية لا تتبع ذلك المفروض فى بعض كلماتها. فقد زادت أحرف لا ينطق بها فى – أولئك – اهتدوا. وحذفت أحرف ينطق بها فى  ذلك – لكن – طه. وحولت رسم الألف اللينة التى تكتب "ياء" تارة، و "ألفا" تارة أخرى. ولا شك أن المطابقة بين الكتابة والنطق سوف تيسر الكتابة، وتوفر كثيرا من الوقت والجهد.
ب‌. ارتباط قواعد الاملاء بالنحو والصرف. ربط كثير من قواعد الاملاء بقواعد النحو والصرف يشكل عقبة من العقبات التى تعوق الكتابة. فعلى التلميذ أن يعرف – قبل أن يكتب – أصل الاشتقاف، والموقع الاعرابي للكلمة ، نوع من الحرف الذى يكتبه، وهذا فيه مافيه من الحرج والإرهاق[36]. أضف الى ذلك أن هناك كثيرا من الناس لا يدرسون قواعد النحو والصرف وعليهم أن يكتبوا. وتتجلى هذه الصعوبة اذا نظرنا الى الألف اللينة، فاذا كانت ثالثة أصلها الواو رسمت ألفا، كما فى سما، دعا، واذا كانت ثالثة وأصلها الياء رسمت ياء كما فى رمى، هدى. واذا كانت زائدة عن ثلاثة أحرف رسمت ياء كما فى انتهى، مصطفى، الا اذا سبقت بياء فترسم ألفا كما فى دنيا، يحيا، ويستثنى من ذلك الاسم يحيى فيرسم على القاعدة. وتتجلى هذه الصعوبة ايضا اذا نظرنا الى "ما" فهى توصل "بكل" اذا كانت زمانية، وبرُبَّ وإن اذا كانت كَافَةً، وتفصل اذا كانت موصولة أو نكرة موصوفة.
ت‌. تعقد قواعد الاملاء وكثرة الاستثاء فيها. من المشكلات التى تسبب صعوبة فى الاملاء تشعب قواعدها وتعقدها وكثرة الاستثناء، حتى أصبح الكبار لا يأمنون الخطاء، فما بالنا بالصغار؟ فالهمزة المتوسطة مثلا هى إما متوسط بالأصالة وإما متوسطة تأويلا، ثم هى بعد ذلك ساكنة أو متحركة، والمتحركة متحركة بعد ساكن أو بعد متحركة، والساكن إما صحيح وإما معتل، والمتحركة من الهمزة أو مما قبلها مضمون أو مفتوح أو إما مكسور، ولكل من هذه الحالات قاعدة، ولكل قاعدة غالبا استثناء.[37] يعانى الكبار والصغار من تشعب قواعد الاملاء، وتعقدها، وكثرة الاستثناء فيها، فالهمزة لها حالات متعددة, ولكل حالة قاعدة معينة، ولكل قاعدة استثناء.
والواقع أن مشكلة اختلاف نطق الكلمات عن كتابتها ليست مشكلة العربية فقط، وانما هى مشكلة كثير من اللغات. فالانجليزية مثلا تهمل الحرف W فى Who و Write، Wrong. [38] أما عن عدم اطراد بعض قواعد الهجاء، وخضوعها القواعد تفصيلية تندعن أذهان الصغار. فهذه صعوبة فى كتابات اللغات المختلفة. وقد اخذ مجمع اللغة العربية على عاتقه منذ انشائه العمل على تبسيط قواعد الاملاء.
ث‌. الاختلاف فى قواعد الاملاء. من اسباب الصعوبة أيضا كثرة اختلاف العلماء فى قواعد الاملاء واضطرابهم فيها، لذلك تعددت القواعد وصعب رسمها، واختلفت الكتابة بين الأفراد وبين الشعوب العربية. فالهمزة المتوسطة فى كلمة يقرؤون مثلا ترسم على ثلاثة أوجه : يقرؤون، يقرأون، يقرءون. وكلها رسم صائب[39].
ولهذا كله شغل مجمع اللغة العربية بقضية التيسير، واتجهت جلسات المجمع اتجاهات ثلاثة: الاتجاه الأول يدعو الى ابقاء القديم على قِدَمِه، وأنه ليس فى الإمكان أبدع مما كان. وهو رأى القدماء والمتمسكين بالقديم. ويقول زكى المهندس "إن موضوع الهمزة لا يصح أن يناقش، لأنها بوضعها الحالى مرشدة للقارئ فى القراءة". والاتجاه الثانى يرى أن تتطابق الكتابة والنطق، فكل ما ينطق به يكتب، وكل مالا ينطق لا يكتب. ويرون أيضا أن من حسن الطالع أن علماء الاملاء لم يتركوا قاعدة الا وقد اختلفوا فيها، وانهم استفادوا من هذا الخلاف فى وضع القواعد المطابقة لما يريدون من التذليل ةالتيسير، ويرى اصحاب هذا الرأى أن الأخذ به يقضى على المشاكل القائمة فى مسألة الهمزة وفى غيرها، وانه يدعو الى التيسير الذى ينشده كل مصلح. أما الاتجاه الثالث فيدعو الى اقتراح جزئى فيه اصلاح القديم وفيه التجديد. فهم يرون أن تجمع الألفاظ المختلفة فيها، ويتفق على طريقة ميسرة فى كتابتها، على أن يصدر ذلك فى صورة قرار علمى مجمعى، وهذا الاقتراح خلاصة آراء المدرسين الذين يباشرون عملهم ويعرفون مواقع الصعوبات[40].
الاختتـام
        وبعد ما لاحظ الكاتب هذا البحث في هذه المقالة أن مهارة الكتابة جزء  لا يتجزأ في تدريس الكتابة للمرحلة الإبتدائية وأيضا في تدريس المنقول خصوصا. فلذلك تهدف هذه المهارة إلى تكوين وتنمية مهارة الكتابة ابتداء من مهارة كتابة الحروف والكلمات والعبارات بوضوح قابل للقراءة إل التمكن من كتابة إنشاء كامل. وتراعي أيضا المقدرة على التهجي الصحيح واستخدام الكلمات بدقة ووضوح بالإضافة إلى التركيز على خطوات الكتابة من التخطيط والتصميم والمراجعة والتنقيح, وذلك لتمكين التلاميذ من إعداد كتابة جيدة, كما تهدف إلى تمكين التلاميذ على الكتابة لأغراض متعددة ولمختلف مجموعات الهدف.
        ولقد انتهت البحوث المقصورة في هذه المقالة بعون الله وتوفيقه. وبعد هذا أن يقول الكاتب أن هذه المقالة لا تخلو من النقائص كشأن كل مقالة مهما أوتيت صاحبتها من سعة أفق وعمق دراسة والله أعلم بالصواب.
قـائمـة المـراجـع والمصـادر
ابراهيم محمد عطا، طرق تدريس اللغة العربية والتربية الدينية، مكتبة النهضة المصرية، القاهرة، 1996
أحمد عطية الله، العوامل السيكلوجية فى اصلاح الهجاء العربي، مجلة التربية الحديثة،1987.
أحمد، ضرورة التطرو فى سياسة التعليم الشعبي، مشروعان جديدان للدراسة والنقد، مجلة التربية الحديثة, 1987
جودت الركابي، طرق تدريس اللغة العربية، دار الفكر المعاصر، بيروت، 1973
حسن شحاتة، نعليم اللغة العربية بين النظرية والتطبيق، الدار المصرية اللبنانية، القاهرة، 1992.
ساطح الحصرى، حول إصلاح رسم الكلمات العربية، مجلة التربية الحديثة، 1987.
 عبد العليم ابراهيم، الموجه الفنى لمدرس اللغة العربية، دار المعارف، مصر, 1962.
عبد العليم ابراهيم، توحيد الرسم الاملائي على مستوى العالم العربي، تطوير تعليم اللغة العربية، مؤتمر اتحاد المعلمين العرب بالخرطوم، القاهرة، 1976.
على أحمد مدكور, تدريس فنون اللغة العربية, دار الشواف, القاهرة, 1991.
فخر الدين القر، بعض نماذج التحديد فى التدريس"أسس التدريس الجامعى"، الطبعة الثانية، مطبعة حامعة القاهرة، 1977.
كمال محمد بشر, الاصوات العربية, مكتبة الشباب, القاهرة, 1990.
محمد صلاح الدين مجاور، تدريس اللغة العربية بالمرحلة الابتدائية، مطابع دار القبس، الكويت، 1976.
محمد صلاح الدين مجاور، تدريس اللغة العربية فى المرحلة الثانوية, دار المعارف، القاهرة، 1971.
محمود كامل الناقة, تعليم اللغة العربية للناطقين بلغات أخري, جامعة أم القرى,  مكة المكرمة.
نور الدين, عبد الرب النبي, تعليم مهارة الكتابة, مكتبة الشباب, القاهرة, 1989.
M. Ezzat, Everybody’s English grammar, Dar Memphis Press, Kairo, 1989.



·   مدرس اللغة العربية فى قسم تربية اللغة العربية التابعة بالجامعة الاسلامية الحكومية باميكاسن
[1]   محمود كامل الناقة, تعليم اللغة العربية للناطقين بلغات أخري, جامعة أم القرى,  مكة المكرمة, 1985, ص. 230.
[2]  محمود كامل الناقة, نفس المصدر, ص. 232.
[3]  كمال محمد بشر, الاصوات العربية, مكتبة الشباب, القاهرة, 1990, ص. 85.
[4] نور الدين, عبد الرب النبي, تعليم مهارة الكتابة, مكتبة الشباب, القاهرة, 1989, ص. 42.
[5]  على أحمد مدكور, تدريس فنون اللغة العربية, دار الشواف, القاهرة, 1991, ص. 301.
[6]  ابراهيم محمد عطا، طرق تدريس اللغة العربية والتربية الدينية، مكتبة النهضة المصرية، القاهرة، 1996، 193
[7]  نفس المرجع، ص. 193.
[8]  نفس المرجع، ص. 193
[9]   نفس المرج، ص. 193
[10]  نفس المرج، ص. 193
[11]  فخر الدين القر، بعض نماذج التحديد فى التدريس"أسس التدريس الجامعى"، الطبعة الثانية، مطبعة حامعة القاهرة، 1977، ص. 157.
[12]  ابراهيم محمد عطا، نفس المرجع، ص. 195.
[13]  نفس المرجع، ص. 195
[14]  محمد صلاح الدين مجاور، تدريس اللغة العربية بالمرحلة الابتدائية، مطابع دار القبس، الكويت، 1976، ص. 201
[15]  عبد العليم ابراهيم، الموجه الفنى لمدرس اللغة العربية، دار المعارف، مصر, 1962، ص. 192
[16]  جودت الركابي، طرق تدريس اللغة العربية، دار الفكر المعاصر، بيروت، 1973
[17]  عبد العليم ابراهيم، نفس المرجع، ص. 192.
[18]  جودت الركابي، نفس المرجع، ص 152.
[19]  حسن شحاتة، نعليم اللغة العربية بين النظرية والتطبيق، الدار المصرية اللبنانية، القاهرة، 1992، ص. 312.
[20]  ابراهيم محمد عطا، نفس المرجع، ص. 198.
[21]  محمد صلاح الدين مجاور، تدريس اللغة العربية فى المرحلة الثانوية, دار المعارف، القاهرة، 1971، ص. 123.
[22]  ابراهيم محمد عطا, نفس المرجع، ص. 199.
[23]  نفس المرجع، ص. 199.
[24]  ساطح الحصرى، حول إصلاح رسم الكلمات العربية، مجلة التربية الحديثة، ص. 130.
[25]  حسن شحاتة، نفس المرجع، ص. 215.
[26]  أحمد عطية الله، العوامل السيكلوجية فى اصلاح الهجاء العربي، مجلة التربية الحديثة، ص. 318.
[27]  حسن شحاتة, نفس المرجع، 316.
[28]  أحمد، ضرورة التطرو فى سياسة التعليم الشعبي، مشروعان جديدان للدراسة والنقد، مجلة التربية الحديثة, ص. 230.
[29]  ابراهيم محمد عطا، نفس المرجع، ص. 199.
[30]  حسن شحاتة، نفس المرجع، ص. 216.
[31]  ابراهيم محمد عطا، نفس المرجع، ص. 200.
[32]  ساطع الحصرى، نفس المرجع، ص. 132.
[33]  ابراهيم محمد عطا، نسف المرجع، ص. 200.
[34]  نفس المرج، ص. 201.
[35]  عبد العليم ابراهيم، توحيد الرسم الاملائي على مستوى العالم العربي، تطوير تعليم اللغة العربية، مؤتمر اتحاد المعلمين العرب بالخرطوم، القاهرة، 1976، ص. 105.
[36]  حسن شحاتة، المرجع السابق، ص. 313.
[37]  حسن شحاتة، نفس المرجع، ص. 314.
[38]    M. Ezzat, Everybody’s English grammar, Dar Memphis Press, Kairo, 1989, Hal. 317.
[39]  حسن شحاتة، نفس المصدر، ص. 214.
[40]  نفس المرجع، ص. 315.